Disertasi Bahlil menyoroti pentingnya reformulasi kebijakan hilirisasi nikel di Indonesia untuk menciptakan keadilan dan keberlanjutan bagi masyarakat, pengusaha, dan pemerintah daerah. Dalam penelitiannya, ia menemukan hilirisasi saat ini menghasilkan dampak positif.
Khususnya bagi pemerintah pusat dan investor melalui peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), investasi, dan ekspor. Namun, ia juga mengidentifikasi empat masalah utama yang perlu segera disikapi.
“Pemerintah daerah belum mendapat dana transfer yang adil untuk mengatasi berbagai masalah sosial dan lingkungan di daerah. Pengusaha daerah juga belum terlibat secara maksimal dalam ekosistem hilirisasi, sementara hilirisasi masih didominasi oleh investor asing," kata Bahlil dalam keterangan tertulis yang diterima Medcom.id, Rabu, 16 Oktober 2024.
Selain itu, investor di daerah belum memiliki rencana diversifikasi jangka panjang yang berdampak pada keberlanjutan hilirisasi di masa mendatang. Bahlil merekomendasikan empat kebijakan utama untuk mengatasi tantangan tersebut.
Pertama, reformulasi alokasi dana bagi hasil terkait aktivitas hilirisasi agar lebih adil bagi pemerintah daerah. Kedua, penguatan kebijakan kemitraan dengan pengusaha daerah untuk menciptakan nilai tambah lokal.
Ketiga, penyediaan pendanaan jangka panjang bagi perusahaan nasional yang terlibat dalam hilirisasi. Terakhir, kewajiban diversifikasi jangka panjang bagi investor guna memastikan keberlanjutan setelah cadangan mineral habis.
Bahlil juga menekankan pentingnya pembentukan Satuan Tugas dengan mandat dari Presiden untuk mengoordinasikan kebijakan hilirisasi, baik dengan pemerintah maupun pelaku usaha, serta mengusulkan penguatan tata kelola yang berorientasi pada hasil konkret, penerapan conditionalities, dan pendekatan yang iteratif dan eksperimental.
Dia berharap temuan dalam penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah atau pemangku kepentingan lain di Indonesia yang terlibat dalam pembuatan kebijakan pengelolaan sumber daya alam.
"Semoga hasil penelitian ini dapat menjadi panduan dalam mereformulasi kebijakan hilirisasi nikel dan memperkuat kelembagaan serta tata kelola untuk mendukung hilirisasi industri sumber daya alam yang berkeadilan dan berkelanjutan,” ujar dia.
Sidang diketuai oleh Prof. Dr. I Ketut Surajaya, S.S., M.A., dengan Prof. Dr. Chandra Wijaya, M.Si., M.M. sebagai promotor, serta Dr. Teguh Dartanto, S.E., M.E., dan Athor Subroto, Ph.D sebagai ko-promotor. Tim penguji terdiri dari para ahli seperti Dr. Margaretha Hanita, S.H., M.Si., Prof. Dr. A. Hanief Saha Ghafur, Prof. Didik Junaidi Rachbini, M.Sc., Ph.D, Prof. Dr. Arif Satria, S.P., M.Si., dan Prof. Dr. Kosuke Mizuno. Sejumlah pejabat tinggi, akademisi, dan tokoh industri hadir memberikan apresiasi atas pencapaian Bahlil menempuh pendidikan doktor di SKSG UI.
Bahlil tercatat sebagai mahasiswa doktor pada SKSG UI mulai pada tahun akademik 2022/2023 term 2 hingga 2024/2025 term 1. Masa studi ini sesuai dengan Peraturan Rektor UI Nomor 016 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Program Doktor di UI pada pasal 14 yang menyebutkan bahwa Program Doktor dirancang untuk 6 semester dan dapat ditempuh sekurang-kurangnya dalam 4 semester dan selama-lamanya 10 semester.
Sebelumnya, netizen melalui media sosial mempertanyakan pemberian gelar doktor kepada Bahlil. Netizen menilai Bahlil terlalu cepat menempuh program Doktor yang hanya 1,5 tahun.
Apalagi, mengingat Bahlil merupakan seorang menteri ESDM yang memiliki banyak kesibukan. Kecepatan Bahlil menyelesaikan gelar Doktor ini lantas menjadi pertanyaan.
Baca juga: Fakultas Kedokteran UI Buka 3 Prodi Baru, Pendaftaran Masih Dibuka hingga 27 Oktober |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News