Ketua Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University, Sahara, mengatakan harga pangan dan energi di tingkat global sudah bergerak naik sebelum perang Rusia-Ukraina. Dia menuturkan kontraksi pada penawaran global yang diikuti dengan kenaikan harga pangan global, juga berdampak terhadap harga dan supply pangan di Indonesia, termasuk gandum.
“Gandum digunakan sebagai input bagi sektor lainnya seperti, tepung terigu, mie, macaroni, roti, biskuit, hasil pengolahan dan pengawetan daging dan makanan lainnya,” ujar Sahara dalam webinar tentang Konflik Rusia-Ukraina: Dampak Terhadap Kinerja Perdagangan dan Harga Gandum/Terigu di Indonesia yang digelar Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dikutip dari keterangan tertulis, Jumat, 15 Juli 2022.
Sahara menuturkan kenaikan harga gandum di tingkat dunia berdampak terhadap Indonesia. Harga gandum dunia mengalami tiga kali guncangan selama 1960-2022.
Perang Rusia-Ukraina memperburuk situasi ketersediaan dan harga gandum dunia. Sahara menyebut tanpa adanya intervensi berupa substitusi, kenaikan harga gandum di tingkat global akan menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,0002 persen.
"Menurut Okun’s law bahwa 1 persen penurunan Gross Domestic Product (GDP) itu akan meningkatkan 2 persen pengangguran. Selain itu, substitusi impor akan meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 0.1193 persen,” papar dia.
Sahara menyebut kenaikan harga gandum global berdampak negatif terhadap kinerja makro perekonomian Indonesia. Meliputi penurunan GDP, neraca perdagangan, term of trade, dan upah riil pekerja.
“Naiknya harga gandum juga berdampak negatif bagi output sektoral terutama produk makanan, pertumbuhan ekonomi regional, konsumsi dan pendapatan rumah tangga dan berpotensi menimbulkan inflasi,” kata Sahara.
Kepala Organisasi Riset Tata Kelola Pemerintahan, Ekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat BRIN, Agus Eko Nugroho, mengatakan ketersediaan pangan di Indonesia, termasuk persediaan gandum dan juga pangan lainnya mengharuskan impor. Hal ini tentu menjadi problem ke depannya.
“Harapannya webinar ini akan membawa pengaruh yang mungkin meminimalisir dampak potensi yang terjadi dan akan menjadi input kebijakan. Inilah yang kita persiapkan sebagai salah satu bagian dari Rapid Assessment Procedures (RAP) di Indonesia maupun di global,” ujar Agus.
Baca juga: Jokowi ke Rusia dan Ukraina, Pakar HI Unair Sebut Cooling Down Sebelum Acara Puncak G20 |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News