Bungsu dari dua bersaudara ini menjalani sidang skripsinya yang berjudul “Optimization of Methylammonium Lead Iodide (MAPbI3) Based Perovskite Solar Cell by Using Tin Oxide As Electron Transport Layer” atau Optimisasi sel surya perovskit jenis MAPbI3 dengan menggunakan Timah Oksida Sebagai Electron Transport Layer pada 7 Februari 2024. Skripsi Melly itu pun diganjar nilai A oleh dosen pengujinya.
Tidak berhenti di situ, Melly juga berhasil lulus dalam waktu 3,5 tahun dan mengantongi indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,6 sehingga menyandang predikat Cum laude.
Dosen pembimbingnya, Imam Santoso, melalui reels Instagramnya, membagikan moment Melly saat mengikuti sidang skripsi. Melly terisak menahan tangis saat diumumkan lulus dengan nilai A dan memperoleh predikat Cum Laude.
“Melly sesenggukan tidak bisa berbicara menunggu salah satu moment terpenting dalam hidupnya," tulis Imam Santoso dalam caption unggahannya.
Melly mengaku merasa terharu karena pada akhirnya dapat memenuhi janjinya pada kedua orang tuanya untuk membawa gelar sarjana dari ITB, terutama janji kepada ibunya yang telah tiada.
“ Saya sangat senang karena pada akhirnya menamatkan perjuangan kuliah dan tugas akhir saya dengan hasil yang cukup memuaskan, “ujar Melly yang rencananya akan diwisuda pada April 2024 ini.
Melly juga bersyukur bisa menjalani perkuliahan dan lulus lebih cepat karena memperoleh bantuan pendidikan dari pemerintah berupa KIP Kuliah.
“KIP Kuliah sangat berkontribusi dalam perkuliahan saya,“ kata Melly dikutip dari laman Puslapdik.
Menurut Melly, mengetahui adanya KIP Kuliah bukan dari guru atau sekolah, tetapi kebetulan melalui Instagram story dan Melly mencoba mendaftar sehingga akhirnya dinyatakan layak memperoleh KIP Kuliah.
“Seandainya tidak ada bantuan KIP Kuliah, saya tidak tahu, mungkin akan sulit sekali untuk bisa berkuliah karena ekonomi keluarga sangat tidak mendukung, “jelas Melly.
Bisa dikatakan, Melly satu-satunya di keluarganya yang kuliah. Ayahnya Melly, Tan Si Eng, tidak tamat sekolah dasar dan pernah berprofesi sebagai penjual bubur ayam di lingkungan rumahnya di sekitar Jalan Pagarsih, Kota Bandung.
Namun, kondisi lock down saat pandemi covid-19 tahun 2019-2021 membuat jualan bubur ayamnya terhenti. Covid-19 usai, ayahnya Melly tak melanjutkan jualan bubur ayamnya, namun kerja serabutan sebagai tukang cat rumah.
Sementara ibunda Melly, oey Erni yang hanya lulusan sekolah dasar, dan sudah meninggal. Melly sendiri anak bungsu dari dua bersaudara.
Kakaknya hanya tamatan SMA dan menurut Melly, kakaknya tidak tertarik untuk kuliah karena tidak suka belajar dan juga belum memperoleh pekerjaan. Untuk kehidupan sehari-hari, Melly dan kakaknya membuat usaha catering kecil-kecilan. Sedangkan untuk menutupi kebutuhan sendiri, Melly menjadi guru les murid SD-SMA.
Lingkungan tempat tinggal Melly sendiri, walaupun berada di tengah Kota Bandung, merupakan masyarakat yang kurang menyadari pentingnya pendidikan. Mayoritas penduduk jalan Pagarsih merupakan pedagang informal dan pelaku usaha kecil.
Sangat jarang ditemukan anak muda yang melanjutkan pendidikan hingga kuliah. “Memang ada yang melanjutkan hingga jenjang perguruan tinggi, namun persentasenya sangat kecil. Mayoritas menikah setelah lulus SMP ataupun SMA," beber Melly.
Beruntung, sejak sekolah dasar, Melly punya ketertarikan yang tinggi untuk sekolah dan karenanya sering memperoleh prestasi, baik akademik maupun non akademik. Selama di SD dan SMP, Melly selalu menduduki peringkat 3 besar di sekolahnya serta sering mengikuti lomba bercerita bahasa Mandarin dan bahasa Inggris.
Memasuki masa SMA di SMAK BPK Penabur Bandung, Melly sempat mengikuti olimpiade sains matematika dan kimia tingkat kota Bandung.
“Saat kelas 3 SMA pernah memperoleh juara 3 lomba bahasa Mandarin di Universitas Maranatha dan lolos ke babak semifinal olimpiade kimia UNY,“ kata Melly.
Melly mengaku bersyukur, kedua orang tuanya sangat mendukungnya meraih pendidikan tinggi meski mereka sendiri tak mengenyam pendidikan tinggi. Orang tua Melly sangat menyadari pentingnya pendidikan dan merupakan kunci utama keberhasilan.
“Sebenarnya mereka sangat ingin kedua anaknya bisa memperoleh gelar sarjana, namun kenyataan berkata lain, hanya saya yang mau dan bisa lulus kuliah, kakak saya mungkin memilih jalan hidup lain,“ ujarnya.
Menyadari hanya dirinya yang mau dan bisa berkuliah, dan juga sebagai anak bungsu, Melly tertantang untuk bisa mengangkat derajat keluarga dan menunjukkan bahwa keterbatasan ekonomi bukan hambatan untuk mencapai pendidikan yang tinggi.
“Orang tua saya selalu mengajarkan saya untuk selalu berusaha untuk apa yang saya inginkan dan jangan pernah takut untuk bermimpi. Mereka selalu berpesan agar saya dapat mengejar pendidikan setinggi mungkin dan mereka selalu mendukung dan membantu saya apabila hal tersebut mengenai pendidikan, “kata Melly.
Diakui Melly, lingkungan tempat tinggalnya tidak mendukung cita-cita dan harapannya. Tak sedikit yang menilai, Mely membebani orangtuanya dengan keinginannya untuk berkuliah. “Apa yang mereka katakana itu justru menjadi cambuk bagi saya untuk membuktikan pada mereka bahwa anak seorang tukang bubur pun dapat berprestasi, “ujar Melly.
Usai kuliah, Melly punya harapan untuk lanjut S2, namun sebelumnya, Melly akan mencoba berkarir dulu di industri pengolahan logam atau pertambangan selama 2-3 tahun.
Imam Santoso, dosen pembimbingnya mengaku bangga punya anak didik seperti Melly. Dalam pandangan Imam, Melly itu semangatnya luar biasa, rajin, aktif di kelas dan terpenting, perangainya sangat bagus.
“Sebagai anak dari kaum minoritas, dan tidak mampu dimana ayahnya hanya pedagang bubur, dan Melly juga membantu ekonomi keluarga dengan jualan online, ia terlihat percaya diri dan tidak malu, dan kuliahnya sangat sungguh-sungguh,“ pungkas Imam.
Baca juga: Berkat Puisi, Anak Buruh Tani Ini Tembus UGM dengan Beasiswa |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News