Guru sedang mengajar di muka kelas. Foto: MI/Gino Hadi
Guru sedang mengajar di muka kelas. Foto: MI/Gino Hadi

Kaleidoskop Pendidikan 2023

Penting! 8 Catatan Kebijakan Pendidikan dan Guru Sepanjang 2023

Citra Larasati • 30 Desember 2023 14:46
Jakarta:  Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) memberikan delapan catatan akhir tahun (Catahu) untuk kebijakan pendidikan dan guru selama 2023.  P2G berharap 8 catatan ini perlu segera ditindaklanjuti untuk membenahi dan mengakselerasi kualitas pendidikan Tanah Air.
 
Pertama, P2G mengapresiasi upaya Kemdikbudristek, Kemenag, dan Panselnas dalam melaksanakan perekrutan guru PPPK. Namun harus diakui, target perekrutan 1 juta guru tidak juga tercapai.
 
Seleksi Guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) gelombang ketiga tahun 2023 lolos seleksi sebanyak 250.432 orang. Tahun sebelumnya 2021-2022 berhasil merekrut 544.292 guru.

Artinya guru yang berhasil direkrut oleh pemerintah melalui skema PPPK baru 794.724 orang. "Namun kami sangat menyesalkan masih ada ribuan guru sudah lolos passing grade (PG) yang nilainya di atas ambang batas (istilah P-1), sejak 2021, dijanjikan akan diberi formasi pada 2022 lalu 2023, dan kini dijanjikan kembali mendapatkan formasi pada 2024 nanti," ungkap Koordinator Nasional P2G, Satriwan Salim dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu, 30 Desember 2023.

Fakta Berulang

Satriwan melanjutkan, P2G juga sangat menyayangkan Pemda yang hanya mengajukan 296.059 formasi guru PPPK dari 601.174 formasi yang dibutuhkan.
 
"Faktanya selalu berulang begini, kekurangan guru ASN akan terus terjadi, sekolah serta pemda kembali akan merekrut guru honorer karena kebutuhan tak terpenuhi. Begitu saja seterusnya, lingkaran setan," kata Satriwan.
 
Ribuan guru P-1 tersebut nasibnya tidak jelas, nasib mereka digantung.  Menurut Satriwan, jika berazaskan keadilan, maka negara sudah seharusnya mengganti rugi biaya hidup mereka, akibat ketidakpastian formasi karena amburadulnya manajemen guru PPPK.
 
Solusi dari Mendikbudristek Nadiem Makarim melalui "Marketplace Guru" yang dikoreksi menjadi "Talent pool" hanya menjadi bumerang karena menutup mata dari masalah sebenarnya.  Menurut Satriwan, ada ketidakselarasan antara kebijakan guru PPPK antara pemerintah pusat dan daerah, serta lemahnya pemutakhiran data, yang seharusnya bukan masalah bagi menteri dengan latar belakang pelopor perusahaan teknologi digital.
 
Kedua, Satriwan melanjutkan, Program Guru Penggerak (PGP) belum mampu meningkatkan kualitas pembelajaran dan kompetensi guru. Seringkali di lapangan, keberadaan guru penggerak menimbulkan kecemburuan dan potensi konflik di antara sesama guru.
 
"Terlebih lagi syarat maksimum guru penggerak berusia 50 tahun, rasanya ini diskriminatif menutup pintu bagi guru di atas 50 tahun yang ingin mengikuti PGP, mengembangkan karir, dan meningkatkan kompetensi dirinya," lanjut Satriwan.
 
Dia melanjutkan, P2G berharap ke depan semestinya kesempatan guru mengikuti pelatihan, peningkatan kompetensi, memimpin ekosistem pembelajaran dengan menjadi kepala sekolah.  Bahkan pengawas dengan mengedepankan prinsip inklusif, terbuka, berkelanjutan, dan berkeadilan.
 
Ketiga, hasil PISA 2022 dan Asesmen Nasional (ANBK) telah menunjukan bahwa skor literasi dan numerasi anak Indonesia masih rendah di bawah rata-rata negara OECD. Skor matematika Indonesia sama dengan Palestina yang kondisinya jauh lebih tidak stabil karena sekolah mereka porak poranda akibat perang.
 
"Glorifikasi ranking tes PISA 2022 Indonesia yang naik oleh Mendikbudristek menutupi fakta sesungguhnya bahwa skor literasi, numerasi, dan sains kita justru makin menurun," jelas Kepala Bidang Advokasi P2G, Iman Zanatul Haeri.

Memperlebar Kesenjangan

Keempat, implementasi Kurikulum Merdeka (IKM) yang menitikberatkan pada penggunaan teknologi digital melalui Platform Merdeka Mengajar (PMM) justru hanya memperlebar kesenjangan digital sejak era Covid-19. Beban administrasi guru menjadi berlipat-lipat karena sama-sama harus mengimput beragam data, aksi nyata, dan mengikuti pelatihan-pelatihan dalam platform tunggal tersebut. 
 
"Jika periode dulu para guru dipenuhi beban administrasi, sekarang diganti menjadi beban aplikasi," kata Iman.
 
Kelima, P2G meminta Kemdikbudristek untuk segera memastikan Kurikulum Merdeka menjadi Kurikulum Nasional. Selayaknya sebuah kebijakan publik, harus dipastikan Naskah Akademik Kurikulum Merdeka sebagai Kurikulum Nasional harus terpenuhi dan dapat diakses publik untuk dikritisi.
 
"Ini perlu dilakukan mengingat implementasi Kurikulum Merdeka hanya berdasarkan Kajian Akademik Kurikulum untuk Pemulihan Pembelajaran (2022), yang mengacu pada pelaksanaan Kurikulum Darurat saat pandemi," lanjutnya.
 
Adanya kepastian pelaksanaan Kurikulum Nasional menjadi batasan untuk mengukur ketercapaian dan evaluasi pelaksanaan Kurikulum Merdeka sebagai satu kebijakan nasional.
 
Keenam, P2G mengimbau agar guru tidak terlibat politik praktis dalam proses Pemilu 2024. P2G tegas menolak politisasi ruang pendidikan seperti sekolah, madrasah, pesantren, kampus, dan lembaga pendidikan lainnya. Termasuk kepada guru dan murid.
 
"Kami sangat mengapresiasi langkah KPU memperketat aturan, sehingga tidak memungkinkan kampanye politik di sekolah atau madrasah," lanjutnya.
 
Ketujuh, Kemdikbudristek harus menuntaskan "Tiga Dosa Pendidikan": kekerasan seksual, perundungan, dan intoleransi di satuan pendidikan. 
 
"P2G mengapresiasi langkah Kemdikbudristek yang segera mengeluarkan peraturan sebagai upaya mewadahi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di tingkat perguruan tinggi dan pendidikan dasar-menengah," kata Feriyansyah, Kepala Bidang Litbang Pendidikan P2G.
 
Feriyansyah mendorong agar impelementasi Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 harus dikawal sampai ke sekolah dan madrasah. Karena amanat permendikbud tersebut harus segera dibentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) paling lama 6 bulan setelah peraturan diterbitkan. 
 
Artinya Januari 2024 semua sekolah dan madrasah di Indonesia yang berjumlah lebih dari 300 ribu semestinya sudah membentuk TPPK dan memahami tupoksinya.
 
Faktanya, hingga akhir Desember 2023 ini sekolah hanya membentuk dan menunjuk Tim saja. Karena ditekan oleh dinas pendidikan yang kejar tayang, tanpa mengerti harus berbuat apa dan melakukan tindak lanjut seperti apa. 
 
Di madrasah lebih tak tersentuh lagi, belum ada dan belum disosialisasikan regulasi pencegahan kekerasan ini.
 
P2G mendorong sekali agar pemahaman mendalam soal kekerasan pada level mikro dan siber perlu diselenggarakan dengan serius di sekolah dan madrasah. Jangan hanya formalistik dan selesai dengan menempel poster deklarasi "Sekolah Ramah Anak, saja. 
 
Pelibatan organisasi guru penting dilakukan Kemdikbudristek, bersama ikut mensosialisasikan permendikbud.
 
“Dalam pantauan jaringan P2G daerah, pelatihan pencegahan penanganan kekerasan di sekolah yang didisain Kemdikbudristek hanya dengan pola massal dengan pelatih yang didatangkan dari pusat ke daerah," lanjut mahasiswa S3 UGM ini.
 
Dia menambahkan, seharusnya Kemdikbudristek melatih instruktur yang direkrut dari beragam unsur, dari Pemda, kampus LPTK, KPAI / KPAD, Dinas Pendidikan, Kanwil Kemenag, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak, SAT PPA Kepolisian, dan organisasi profesi guru. Kemudian mereka kembali ke daerah masing-masing untuk mengimbaskan dan melaksanakan pelatihan kepada pihak sekolah.
 
"Dibutuhkah pemahaman bersama secara kolaboratif gotong royong mencegah tindak kekerasan di sekolah dan madrasah. Pemda juga punya tanggung jawab melakukannya," pungkas Feriyansyah.
  
Kedelapan, pada level perguruan tinggi, P2G mengapresiasi skema Seleksi Nasional Penerimaan Mahasiswa Baru (SNPMB) dan Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi yang dinilai makin baik. SNBP yang dinilai makin berkeadilan.
 
“Namun keberadaan PTN-BH masih menjadi penghalang akses pendidikan bagi masyarakat ekonomi lemah. Kami juga mengharapkan solusi karena banyak PTS tutup karena PTN membuka jalur mandiri," kata Fauzi Abdillah, Pengurus Nasional P2G.
 
Menurutnya, Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) perlu dibuat lebih inklusif dan accessible. Khususnya IISMA (Indonesian International Student Mobility Award) yang ditengarai hanya bisa diikuti oleh mereka yang memiliki privilege untuk menguasai bahasa asing dan memiliki sertifikat kompetensi berbahasa yang sulit dijangkau secara finansial untuk banyak mahasiswa.
 
Pelaksanaan MBKM mandiri oleh banyak kampus juga perlu diawasi secara ketat untuk menjaga kualitas pelaksanaannya. 
 
"Jangan sampai yang penting ada stempel MBKM, namun keluar dari substansi," ungkap dosen salah satu PTN ini.
 
Baca juga: 2023, Guru Masih Dihimpit Beban Administrasi


 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(CEU)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan