Sang bunda, Suliasih, mengaku tak berhenti berdoa untuk anak keduanya tersebut. Bahkan, dia sampai memutuskan tidak bekerja untuk mendoakan Jafro saat bertanding di Asian Games.
"Saya pesan ke dia untuk hati-hati. Jangan sampai salah langkah, salah bicara. Makannya dijaga, tidur harus teratur," kata Suliasih saat ditemui Medcom.id di kediamannya di Jalan Arumdalu 159, Kelurahan Songgokerto, Kecamatan Batu, Kota Batu, Jawa Timur, Senin 27 Agustus 2018.
Berkat doa orangtuanya, Jafro berhasil mengalahkan atlet Thailand dan Korea Selatan. Atlet berusia 22 tahun ini menjadi yang terbaik di cabang olahraga paralayang nomor akurasi tunggal putra di Gunung Mas Puncak, Kamis 23 Agustus 2018 lalu.Baca juga: Tim Putri Indonesia Gondol Emas di Panjat Tebing Nomor Speed Relay
"Sering video call. Sebelum tanding biasanya video call saya dulu. Saya juga nggak pernah berhenti puasa Senin-Kamis untuk dia," ujar wanita kelahiran 19 September 1964 itu.
Sementara sang ayah, Budi Sutrisno, mengaku selalu memonitor kegiatan anaknya saat bertanding. Bahkan, dia selalu mendoakan anaknya sembari bekerja saat menjadi petani seledri.
"Saya selalu monitor terus dari saat anak saya jajal lapangan sampai anak saya positif menang," tutur Sutrisno.Baca juga: Jauh Lampaui Target, Pencak Silat Indonesia Sapu Bersih Emas
Sutrisno menceritakan, awalnya dia dan istri melarang Jafro menekuni olahraga paralayang. Sebab, olahraga tersebut bukanlah olahraga yang murah. Apalagi, orangtua Jafro hanya seorang petani dan peternak sapi.
"Pernah saya suruh berhenti karena biaya. Tapi anaknya tetap berlatih. Akhirnya kami luluh dan mencarikan dia ongkos sebisa mungkin. Kasihan, kami takut dia kecewa karena keinginannya kuat sekali," ungkapnya.
Sekali berlatih terbang, Jafro harus merogoh kocek Rp15.000. Sedangkan dalam sekali latihan, alumnus SMK 17 Agustus Kota Batu ini bisa beberapa kali terbang.Baca juga: Luka Lebam tak Halangi Sarah Sumbang Emas Ke-7 Pencak Silat
Oleh karena itu, Jafro tak ingin merepotkan orangtuanya merangkap menjadi tukang lipat parasut di kawasan pendaratan (landing) paralayang Gunung Banyak, Kota Batu, yang hanya berjarak 500 meter dari rumahnya. Upah yang diterima melipat parasut Rp5.000 per parasutnya.
"Dia ngelipat parasut sejak sekolah dulu, buat nambah uang jajan katanya. Tapi dari situ dia kemudian ditawari manajer klub untuk jadi atlet," terangnya.
.jpg)
Jafro Megawanto (Foto: instagram @jafromegawanto)
Selama dua tahun menjadi tukang lipat parasut, Jafro kemudian ditawari menjajal olahraga paralayang. Sosok yang menawarkan dirinya untuk belajar terbang pertama kali adalah manajer klub Ayo Kita Kemon, Yosi Pasha.
Ternyata peluang yang didapat Jafro tersebut mampu mengubah jalan hidupnya. Selama dua bulan diberi pelatihan, Jafro mendapat lisensi PL 1 Junior dan kini benar-benar menjadi atlet profesional.
Terbukti pada kejuaraan pertama yang diikutinya, di Batu Open Paragliding 2011, Jafro berhasil meraih juara 3 kelas junior. Sejumlah medali pun dia dapatkan hingga saat ini, salah satunya medali emas di Pekan Olahraga Nasional (PON) 2016 di Jawa Barat.
Video: Hujan Emas di Padepokan Pencak Silat TMII
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News