Meski bukan medali emas yang didapat pada 1951, 1954 (Manila), serta AG 1958 di Tokyo, Jepang, atlet-atlet Indonesia yang dikirimkan ke ajang internasional itu berhasil meraih medali perunggu.
Bahkan, di tahun 1958, tim sepak bola Indonesia tampil mengejutkan dengan raihan medali perunggu. Ramang cs ketika itu langsung mendapat julukan Macan Asia. Prestasi yang hingga kini sulit diulangi di cabang olah raga paling populer tersebut.
Sebagai negara yang baru lahir di tahun 1945, dan mengalami masa transisi hingga banyaknya pemberontakan-pemberontakan hingga tahun 1955 itu, prestasi atlet Indonesia tersebut terbilang bagus.
Soekarno, atau Bung Karno, selaku Pemimpin Besar Revolusi dan presiden pertama Indonesia, memiliki ambisi dan semangat membawa Indonesia menjadi bangsa yang disegani di Asia, bahkan di dunia.
Di tengah keraguan banyak pihak, Si Bung mengajukan Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games. Indonesia akhirnya terpilih dari hasil rapat Komite Olimpiade Asia (OCA) di Tokyo, Jepang, pada tahun 1958. Indonesia berhak menjadi tuan rumah pesta olahraga se-Asia tersebut pada tahun1962 setelah mendapatkan 22 suara, mengalahkan Karachi (Pakistan) yang hanya mendapatkan 20 suara.
Persiapan matang Indonesia menjadi tuan rumah pesta olahraga se-A sia tak tanggung-tanggung. Stadion Utama Senayan (nama saat itu) yang megah dibangun. Stadion Utama Senayan hadir menjadi salah satu stadion sepak bola terbesar di Asia Tenggara, bahkan termasuk yang terbesar di dunia. Ditambah lagi pembangunan kompleks olahraga di Senayan, Jakarta, menjadi saksi kebangkitan olahraga Indonesia.
Momen Emas Dimulai
Setelah hanya berhasil menyumbang medali perunggu di tiga kali kesempatan ikut Asian Games, Indonesia dengan semangat membara atlet-atletnya berhasil menorehkan prestasi membanggakan di tahun 1962, saat bertindak sebagai tuan rumah. Tak main-main pencapaian Indonesia saat itu. Posisi runner-up alias terbaik kedua didapatkan putra-putri terbaik Indonesia di bidang olah raga tersebut.
Di akhir event, Indonesia sukses meraih total 51 medali. Terdiri dari 11 medali emas, 12 medali perak dan 28 medali perunggu. Rekor pencapaian tersebut hingga kini sulit dipecahkan. Terdekat pencapaian prestasi 1962 adalah tahun 1978, saat Asian Games digelar di Bangkok, Thailand. Indonesia sukses menyumbang 8 emas, 7 perak, 18 perunggu, namun berada di peringkat 9 klasemen.
Pahlawan medali emas saat menjadi tuan rumah hadir dari cabor bulu tangkis, atletik, loncat indah dan balap sepeda. Bulu tangkis menjadi penyumbang terbanyak dengan lima medali emas. Tan Joe Hok (tunggal putra bulu tangkis); Tutang Djamaluddin, Liem Tjeng Kiang, Ferry Sonneville, Tan Joe Hok dan Abdul Patah Unang (beregu putra); Minarni (tunggal putri); Minarni/Retno Kustijah (ganda putri); Goei Kiok Nio, Happy Herowati, Corry Kawilarang, Retno Kustijah, Minarni (beregu putri).
Saat itu nama Mohammad Sarengat juga muncul menjadi pahlawan Indonesia dari cabang atletik. Sprinter kelahiran Banyumas itu sukses mencatatkan diri sebagai manusia tercepat di nomor lari 100 meter dengan catatan waktu 10,5 detik. Sarengat kembali meraih medali emas di nomor 110 meter lari gawang.
Sementara atlet balap sepeda yang beranggotakan Hendrik Brocks, Wahju Wahdini, Hasjim Roesli, dan Aming Priatna, ikut menyumbang tiga medali emas pada penyelenggaraan AG Jakarta tahun 1962 itu. Satu lagi medali emas disumbangkan penyelam Lanny Gumulya.
Raihan prestasi Indonesia saat menjadi tuan rumah 1962, diharapkan bakal terulang saat Indonesia kembali menjadi tuan rumah pada 18-31 Agustus 2018 nanti. Kali ini event bakal dilaksanakan di Jakarta dan Palembang, serta sejumlah tempat di Jawa Barat. Prestasi membanggakan atlet Indonesia, setidaknya menjadi kado istimewa Hari Ulang Tahun Kemerdekaan ke 73 Republik Indonesia.
Bulu Tangkis Hampir tak Pernah Absen Sumbang Emas
Sejak Asian Games 1 di New Delhi, hingga AG ke-17 di Incheon, Korea Selatan, total Indonesia sudah meraih 411 medali, terdiri dari 91 medali emas, 121 medali perak dan 199 medali perunggu. Overall, Indonesia berada di rangking 11 di Asia. Menariknya, cabor bulu tangkis menjadi lumbung medali emas kontingen Indonesia. Total 91 medali disumbangkan cabor bulu tangkis sepanjang Asian Games. Dengan rincian 26 medali emas, 25 medali perak dan 40 medali perunggu.
Bahkan atlet-atlet bulu tangkis Indonesia sukses menjadi legenda karena mempertahankan medali emas berturut-turut. Di antaranya adalah duet Retno Kustijah/Minarni yang sukses mempertahankan medali emas mereka di dua kali penyelenggaran Asian Games, yakni di tahun 1962 (Jakarta) dan 1966 (Bangkok, Thailand). Bahkan Minarni di tahun 1966 ikut memberikan andilnya di tiga nomor. Selain di tunggal putri, Minarni juga menyumbang emas di ganda putri dan beregu putri.
Di putra, ada nama Christian Hadinata yang sukses meraih lima medali emas Asian Games. Dimulai pada AG 1974 (Teheran/Iran), Christian Hadinata menyumbang medali emas di nomor ganda campuran saat berpasangan dengan Regina Masli. Kemudian di AG 1978 (Bangkok/Thailand), Christian Hadinata yang berpasangan dengan Ade Chandra sukses sumbang medali emas. Masih di 1978, Christian Hadinata juga membantu raihan medali emas di nomor beregu putra.

Empat tahun berselang, tepatnya tahun 1982 di New Delhi, India, Christian Hadinata kembali menorehkan prestasi medali emas. Kali ini Christian Hadinata yang berduet dengan Icuk Sugiharto sukses di ganda putra. Tak puas, Christian yang berpasangan dengan Ivana Lie di ganda campuran juga sukses meraih emas. Prestasi Christian Hadinata dengan lima medali emas Asian Games belum terpecahkan hingga kini.
Era tahun 1990-an, dari cabor bulu tangkis kembali muncul nama-nama pahlawan Indonesia di Asian Games. Sempat melempem di AG 1986 dan 1990 yang tanpa medali emas, bulu tangkis kembali mengharumkan nama Indonesia di AG 1994 Hiroshima. Tiga medali emas yang diraih Indonesia di pesta olahraga se-Asia itu semuanya diraih dari cabor bulu tangkis.
Haryanto Arbi meraihnya dari nomor tunggal putra. Di nomor beregu putra, tim Indonesia yang beranggotakan Hariyanto Arbi, Rudy Gunawan, Rexy Mainaky, Ricky Subagja, Bambang Suprianto, Joko Suprianto, Hermawan Susanto, Ardy Wiranata juga menyumbang emas. Satu medali emas lagi disumbangkan ganda putra terkuat saat itu, Rexy Mainaky/Ricky Subagja.
Tradisi medali emas di cabor bulu tangkis terus berlanjut. Pada AG 1998 di Bangkok, Thailand, Rexy Mainaky/Ricky Subagja sukses mempertahankan medali emas ganda putra. Di nomor beregu putra, tim Indonesia juga sukses mempertahankan medali mereka di Hiroshima.
Satu medali emas lagi di AG Bangkok 1998, diraih dari cabang atletik yang berpuasa selama 36 tahun sejak medali emas Mohammad Sarengat. Srikandi Indonesia di nomor 5.000 meter, Supriati Sutono, sukses mengharumkan Indonesia di nomor lari jarak menengah tersebut. Dahaga yang terobati dari cabang atletik.
Nama Taufik Hidayat mencuat jadi pahlawan Indonesia di bulu tangkis pada akhir 1990-an hingga awal tahun 2000-an. Sejumlah gelar bergengsi, baik perorangan dan nomor beregu diraih menantu Agum Gumelar tersebut. Mulai dari juara dunia, juara olimpiade hingga menjuarai tunggal putra di dua kali ajang Asian Games. Taufik sukses meraih medali emas di AG Busan, Korea Selatan 2002 dan AG 2006 Doha, Qatar.
Hingga penyelenggaran Asian Games terakhir pada 2014 lalu di Incheon, Korea Selatan, bulu tangkis kembali menjadi penyumbang medali emas terbanyak Indonesia. Dari empat medali emas yang diraih, dua medali emas diraih dari cabor bulu tangkis nomor ganda putri dan ganda putra. Greysia PoliiNitya Krishinda Maheswari dari ganda putri, dan Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan terus mengharumkan nama Indonesia dari cabang tepok bulu tersebut.
Harus menunggu lama kembali, cabang atletik yang terakhir meraih medali emas tahun 1998, kembali menorehkan tinta emas lewat atlet lompat jauh putri mereka, Maria Natalia Londa. Di cabang wushu, Juwita Niza Wasni juga ikut menyumbang medali emas untuk Indonesia.
Tenis juga Punya Tradisi
Sejumlah cabang juga pernah menjaga tradisi medali emas di Asian Games. Di antaranya cabang tenis. Total, Indonesia sudah merebut 15 medali emas, 6 perak dan 15 perunggu di seluruh ajang Asian Games. Lany Kaligis dan kawan-kawan memulainya pada Asian Games 1966 Bangkok, Thailand. Lany Kaligis menyumbang tiga medali emas dari nomor tunggal putri, ganda putri dan beregu putri. Tenis kembali menyumbang emas pada AG 1974 di Teheran, Iran. Kali ini Lita Sugiarto sukses meraih medali emas tunggal putri.
Tenis Indonesia kembali meraih prestasi pada tahun 1978. Tiga medali emas diraih Indonesia dari cabang ini. Justedjo Tarik dkk kembali mengulang prestasi tersebut empat tahun berselang. Di New Delhi, India, tenis kembali menyumbang medali emas. Medali hadir dari tunggal putra, Justedjo Tarik. Emas juga diraih dari nomor beregu putra.
Sukses tersebut diikuti di bagian putri. Petenis putri Indonesia kembali menemukan kejayaan saat AG 1986 digelar di Seoul, Korea Selatan. Suzanna Anggarkusumah-Yayuk Basuki menjaga tradisi emas tenis ganda putri. Gelar tersebut kembali dipertahankan Suzanna-Yayuk saat AG 1990 Beijing, Tiongkok. Yayuk Basuki bahkan berhasil meraih emas di ganda campuran saat berpasangan dengan Hary Suharyadi, yang juga suaminya.
Tradisi emas tenis terus dipertahankan Yayuk Basuki, yang pernah menduduki peringkat 19 dunia tunggal putri. Yayuk membayar kegagalan tim tenis yang hanya meraih perak di AG 1994 Hiroshima, Jepang. Pada Asian Games 1998 Bangkok, Thailand, Yayuk sukses menyumbang medali emas tunggal putri.
Terakhir, tradisi medali emas tenis terjadi pada tahun 2002. Saat Asian Games dihelat di Busan, Korea Selatan, Angelique Widjaja, Liza Andriyani, Wukirasih Sawondari dan Wynne Prakusya, sukses meraih emas di beregu putri.
Memang sejak itu, hingga Asian Games 2014 Incheon, Korea Selatan, belum ada lagi petenis Indonesia yang meraih medali emas. Harapan itu kini tersemat di pundak Christopher Rungkat dkk, yang bisa saja mengembalikan tradisi emas, mumpung bermain di hadapan publik sendiri.
Selain dari kedua cabor tradisi tersebut, beberapa atlet legenda juga lahir di Asian Games. Terutama dari cabang tinju dan layar. Di tinju ada Wiem Gomies yang merebut emas di dua penyelenggaraan Asian Games. Wiem yang bertanding di kelas 75 kilogram, sukses meraih emas di AG 1970 dan 1978, Bangkok, Thailand. Tahun 1990, tradisi tinju Wiem Gomies diteruskan oleh Pino Bahari.
Sementara di cabang layar, tak lekang ingatan kepada sosok Oka Sulaksana, atlet asal Bali yang sukses meraih emas di dua kali penyelenggaraan. Oka kali pertama meraihnya di AG 1998 Bangkok, Thailand. Oka mengulanginya lagi empat tahun kemudian di AG 2002 Busan, Korea Selatan.
11 Cabor Penyumbang Emas
Selain cabor tradisi seperti bulu tangkis dan tenis, cabang lain juga menyumbangkan medali emas untuk Indonesia. Total 11 cabor sudah menyumbang emas, yakni atletik, tinju, perahu naga, balap sepeda, karate, layar, boling, wushu, dan menyelam. Harapan saat Indonesia kembali menjadi tuan rumah, kepingan medali kembali diraih atlet Indonesia, yang pada akhirnya mendongkrak posisi Indonesia di klasemen.
Harapan masyarakat juga begitu besar, dengan keuntungan sebagai tuan rumah. Sejumlah asa muncul. Dari atletik misalnya, nama Lalu Muhammad Zohri yang belum lama menorehkan prestasi di Kejuaraan Dunia Junior, tentunya patut dinantikan. Meski tidak terlalu dipaksakan meraih medali, siapa tahu bertanding di negara sendiri membuat prestasi Lalu bisa melesat secepat dia berlari.
Belum lagi gairah dari cabang sepak bola yang tidak pernah surut dukungannya. Garuda Muda asuhan Luis Milla sangat dinantikan penampilannya oleh para penggemar. Tak muluk-muluk, target masuk empat besar bakal mengulangi prestasi tim Asian Games Seoul 1986. Apalagi kalau bisa masuk ke final, pencapaian yang luar biasa tentunya. Indonesia pasti bisa!
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News