Kemarin, Gubernur dan Wakil Gubernur baru DKI Jakarta dilantik. Anies Rasyid Baswedan dan Sandiaga Salahudin Uno di depan Presiden Joko Widodo yang melantik mereka mengikrarkan diri untuk menjadi gubernur dan wakil gubernur bagi semua warga Jakarta, baik yang telah memilih mereka maupun yang tidak.
Sesungguhnya diikrarkan atau tidak hal itu memang wajib dilaksanakan siapa pun pemimpin dan di mana pun dia memimpin. Menjadi pemimpin tak boleh setengah-setengah. Ia harus berdiri di tengah-tengah.
Tidak menomorsatukan pemilihnya dan tidak pula menomorsekiankan yang bukan pemilihnya. Persoalannya ialah modal apa yang mesti dipunyai untuk bisa tetap menjalankan roda pemerintahan sekaligus melajukan pembangunan di tengah perbedaan-perbedaan pandangan yang nyata ada.
Apalagi fakta di Jakarta menunjukkan bahwa polarisasi di tingkat masyarakat sempat menghebat saat pilkada tempo hari. Hanya satu jawabannya, Jakarta butuh pemimpin yang kuat.
Bukan kuat hanya dalam arti tegas, berani, dan keras, melainkan juga kuat memegang komitmen dan teguh menjaga integritas. Amanat besar telah digantungkan di pundak mereka.
Tentu, amanat itu akan mudah jatuh bila yang memegangnya ialah pemimpin yang lemah. Sejarah mencatat pemimpin-pemimpin kuatlah yang mampu memajukan Ibu Kota. Dari zaman Ali Sadikin hingga terakhir Basuki Tjahaja Purnama, yang kemudian diteruskan Djarot Saiful Hidayat, membuktikan bahwa Jakarta tak layak dipimpin pemimpin yang lemah.
Jakarta dengan segala kompleksitas masalahnya terlalu congkak untuk mereka-mereka yang bermental lunglai. Publik mengharapkan Jakarta tak hanya bertumbuh, tapi juga terus berkiprah sebagai kota yang beradab. Kota yang tidak saja modern, tapi juga nyaman untuk dihuni.
Semua harapan itu hanya akan terwujud dari pemimpin yang memiliki komitmen kuat serta visi besar terhadap kepentingan publik. Suka tidak suka, Anies dan Sandi akan meneruskan kiprah pemimpin Jakarta sebelumnya, Basuki-Djarot, yang oleh sebagian kalangan dinilai berhasil mengubah wajah Ibu Kota.
Harus diakui, banyak perubahan positif yang terjadi di Jakarta dalam lima tahun terakhir, meski di saat yang sama banyak pula kritik dan protes karena pemimpinnya dianggap terlalu berani dan tanpa tedeng aling-aling.
Dalam kiprah mereka nanti, Anies-Sandi tentu punya rencana dan strategi yang berbeda. Cara melihat persoalan Jakarta pun sudah pasti bakal tak sama. Akan tetapi, tidak ada salahnya jika mereka mau memetik pelajaran dari kepemimpinan sebelumnya, terutama tentang keteguhan komitmen, keberanian, dan kelugasan yang didedikasikan untuk memenuhi kepentingan publik.
Dalam konteks ini tampaknya kita perlu mengingat lagi pesan dari Buya Syafii Maarif yang pernah ia sampaikan sekitar lima tahun lalu. Ia bertutur, negeri ini harus mencari sosok pemimpin yang lebih kuat, nasionalis sejati, autentik, tidak berpura-pura, dan juga tidak menjadikan kekuasaan sebagai mata pencaharian.
Tidak ada kata lain, demi kemajuan Jakarta, Anies-Sandi harus mampu tampil dan berlaku sebagai pemimpin yang kuat.