Larangan itu baru kali ini dikeluarkan oleh otoritas kampus. Padahal, tahun-tahun sebelumnya, kawasan itu kerap dijadikan pedagang menggelar Lapak Ngabuburit.
Mendapat larangan itu, sejumlah pedagang mengadu ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Selasa (31/5/016). Tujuannya, agar pedagang yang jumlahnya sekitar 375 orang itu bisa berjualan di lokasi itu saat Ramadan.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
"Kami sudah mendapat surat (larangan berjualan) dan melihat papan larangan berjualan. UGM tidak melakukan komunikasi lebih dulu," kata Lina Situmorang, salah seorang pedagang, saat menyampaikan aduan di LBH Yogyakarta.
Budiono, petugas parkir di Lapak Ngabuburit, menambahkan, UGM di era rektor beberapa waktu lalu pernah mengajak warga untuk meristis usaha. Syaratnya, lokasi berjualan ditata rapi dan usai berdagang lokasi kembali bersih.
"Ya kami sanggup. Kami jualan hanya dua jam. Kami kira tidak mengganggu lalu lintas lah," kata dia.
Ia menambahkan, para pedagang juga ditarik biaya retribusi oleh UGM, yakni Rp3 ribu hingga Rp5 ribu tiap pedagang. "Terakhir tiga tahun lalu. Mulai 2014, UGM tidak menjadi bagian pengelola dan pihak pedagang tidak menyetor retribusi," ungkapnya.
Anggota LBH Yogyakarta yang menemui para pedagang, Yogi Zul Fadli menduga ada pelanggaran hak atas ekonomi. Yakni melanggar konvenan ekonomi, sosial, dan budaya. Aturan tersebut diratifikasi menjadi UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Konvensi Internasional tentang Ekonomi, Sosial dan Budaya.
"Setiap warga negara memiliki hak menjalankan pekerjaan sesuai kapasitas seseorang. UGM sebagai institusi negara semestinya ikut melindungi warga," ungkapnya.
LBH berencana menyurati UGM untuk mengklarifikasi aduan itu. Selain itu, LBH juga akan mengajukan audiensi. "Kami meminta UGM mencabut larangan itu," katanya.
Pihak UGM belum bisa dimintai konfirmasi. Pesan singkat dan telepon yang Metrotvnews.com tujukan kepada juru bicara UGM, Iva Ariani belum memperoleh tanggapan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News (SAN)
