Tokyo: Jepang saat ini dihadapkan pada menurunnya angka kelahiran. Tidak kurang, banyak para penduduk muda di Jepang yang enggan untuk memiliki anak.
Ada banyak faktor yang memicu fenomena ini. Padahal tahun lalu saja, Jepang sudah mencatat rekor penurunan angka kelahiran bayi paling besar selama satu dekade.
Sepanjang 2022, Negeri Sakura mencatat 799.728 kelahiran. Ini merupakan angka paling terendah dan berada di bawah angka 800 ribu, berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan Jepang awal Maret 2023.
Sebenarnya apa saja yang menjadi pemicu pada pasangan muda di Jepang enggan memiliki anak. Direktur Humas Kantor Gubernur Tokyo untuk urusan Kebijakan Publik Penduduk, Budaya dan Olahraga, Ayano Nishiguchi memberikan pendapatnya.
“Usia penikahan yang melambat menjadi salah satu penyebab menurunnya angka reproduksi. Berdasarkan data, satu dari empat orang yang belum menikah dalam rentang usia hingga 50 tahun ada sekira 25 hingga 30 persen,” ujar Ayano, saat menjawab pertanyaan wartawan Indonesia yang berkunjung melalui program Jenesys 2022.
“Angka tersebut pun diperkuat dengan mahalnya biaya membesarkan anak di jepang yang setara ongkos membangun rumah ditambah masyarkat yang dalam usia produktif masih sibuk bekerja,” tuturnya.
Lebih lanjut Ayano menambahkan, banyak perempuan di Jepang ingin memiliki keluarga ingin menikah dan juga ingin punya anak. Dirinya pun sebenarnya sudah menikah namun belum memiliki anak dan masih terus mengupayakannya.

Pemuda di Jepang enggan memiliki anak. Foto: Medcom.id
Memang mahalnya biaya membesarkan anak di tokyo menjadi salah satu alasannya. Namun ada kebijakan dari pemerintah metropolitan Tokyo untuk meningkatkan kelahiran yang mempermuda kaum perempuan melahirkan tetapi tetap bekerja.
Kondisi yang dialami Jepang saat ini diakui oleh jurnalis Shinano Mainichi Shimbun, Takehana Atsumu. Menurutnya, secara keseluruhan di jepang diprediksi dalam 10 hingga 20 tahun mendatang akan kekurangan tenaga kerja perawat hingga ratusan ribu orang.
“Ini disebabkan populasi lansia dengan usia 50 tahun ke atas terdapat perbandingan sepuluh dari 40 orang lansia. Saya akui, keberadaan sistem pelayanan sosial bagi lansia yang ada sejak tahun 2000 acapkali menjadi salah satu faktor bagi penduduk jepang sehingga tidak takut hidup tanpa anak,” tegas Takehana.
Ada banyak faktor yang memicu fenomena ini. Padahal tahun lalu saja, Jepang sudah mencatat rekor penurunan angka kelahiran bayi paling besar selama satu dekade.
Sepanjang 2022, Negeri Sakura mencatat 799.728 kelahiran. Ini merupakan angka paling terendah dan berada di bawah angka 800 ribu, berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan Jepang awal Maret 2023.
Sebenarnya apa saja yang menjadi pemicu pada pasangan muda di Jepang enggan memiliki anak. Direktur Humas Kantor Gubernur Tokyo untuk urusan Kebijakan Publik Penduduk, Budaya dan Olahraga, Ayano Nishiguchi memberikan pendapatnya.
“Usia penikahan yang melambat menjadi salah satu penyebab menurunnya angka reproduksi. Berdasarkan data, satu dari empat orang yang belum menikah dalam rentang usia hingga 50 tahun ada sekira 25 hingga 30 persen,” ujar Ayano, saat menjawab pertanyaan wartawan Indonesia yang berkunjung melalui program Jenesys 2022.
“Angka tersebut pun diperkuat dengan mahalnya biaya membesarkan anak di jepang yang setara ongkos membangun rumah ditambah masyarkat yang dalam usia produktif masih sibuk bekerja,” tuturnya.
Lebih lanjut Ayano menambahkan, banyak perempuan di Jepang ingin memiliki keluarga ingin menikah dan juga ingin punya anak. Dirinya pun sebenarnya sudah menikah namun belum memiliki anak dan masih terus mengupayakannya.

Pemuda di Jepang enggan memiliki anak. Foto: Medcom.id
Memang mahalnya biaya membesarkan anak di tokyo menjadi salah satu alasannya. Namun ada kebijakan dari pemerintah metropolitan Tokyo untuk meningkatkan kelahiran yang mempermuda kaum perempuan melahirkan tetapi tetap bekerja.
Kondisi yang dialami Jepang saat ini diakui oleh jurnalis Shinano Mainichi Shimbun, Takehana Atsumu. Menurutnya, secara keseluruhan di jepang diprediksi dalam 10 hingga 20 tahun mendatang akan kekurangan tenaga kerja perawat hingga ratusan ribu orang.
“Ini disebabkan populasi lansia dengan usia 50 tahun ke atas terdapat perbandingan sepuluh dari 40 orang lansia. Saya akui, keberadaan sistem pelayanan sosial bagi lansia yang ada sejak tahun 2000 acapkali menjadi salah satu faktor bagi penduduk jepang sehingga tidak takut hidup tanpa anak,” tegas Takehana.
Childfree pengaruhi bisnis
Kondisi ‘Childfree’ yang dialami Jepang saat ini turut diakui oleh Ryouzou Iwai yang saat ini berusia 63 tahun dan mengelola penginapan ‘Ullr’ di Desa Hakuba, Nagano.
Menurut Iwai, ketika kita memiliki anak tentunya butuh pengeluaran lebih, jadi butuh pendapatan lebih banyak. “Makanya kita memilih tidak punya anak. Juga semakin banyak wanita memasuki tempat kerja. Ini semakin sulit,” ucap Iwai.

Ryouzou Iwai pemilik penginapan 'Ullr' di Hakuba, Nagano. Foto: Medcom.id
Ditanya apakah dirinya khawatir dengan populasi penduduk Jepang, dirinya pun jelas khawatir.
“Saya punya putri dan cucu. Ketika jumlah anak lebih sedikit, apa yang terlibat dalam masalah ekonomi Jepang jadi besar. Juga masalah pensiun. Saya juga terdampak. Saya juga khawatir tentang ketika menerima jumlah besaran pensiun,” tuturnya.
Satu hal yang diakui Iwai adalah lingkungan tempat anak dibesarkan telah berubah. Bahkan dia melihat banyak sekolah tutup di wilayah tempat tinggal karena kurang siswa.
“Itu terjadi di seluruh Jepang. Bahkan di hakuba angka kelahiran menurun. Ada juga cerita bahwa dua sekolah pada akhirnya digabung jadi satu,” ujarnya.
Tetapi Iwai tidak khawatir mengenai masa depan penginapan yang dia kelola. Baginya, Ullr akan diwarisi anaknya. Dia bisa bernapas lega, mengingat ada penginap terpaksa ditutup karena tidak memiliki penerus.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun Google News Medcom.id
Menurut Iwai, ketika kita memiliki anak tentunya butuh pengeluaran lebih, jadi butuh pendapatan lebih banyak. “Makanya kita memilih tidak punya anak. Juga semakin banyak wanita memasuki tempat kerja. Ini semakin sulit,” ucap Iwai.

Ryouzou Iwai pemilik penginapan 'Ullr' di Hakuba, Nagano. Foto: Medcom.id
Ditanya apakah dirinya khawatir dengan populasi penduduk Jepang, dirinya pun jelas khawatir.
“Saya punya putri dan cucu. Ketika jumlah anak lebih sedikit, apa yang terlibat dalam masalah ekonomi Jepang jadi besar. Juga masalah pensiun. Saya juga terdampak. Saya juga khawatir tentang ketika menerima jumlah besaran pensiun,” tuturnya.
Satu hal yang diakui Iwai adalah lingkungan tempat anak dibesarkan telah berubah. Bahkan dia melihat banyak sekolah tutup di wilayah tempat tinggal karena kurang siswa.
“Itu terjadi di seluruh Jepang. Bahkan di hakuba angka kelahiran menurun. Ada juga cerita bahwa dua sekolah pada akhirnya digabung jadi satu,” ujarnya.
Tetapi Iwai tidak khawatir mengenai masa depan penginapan yang dia kelola. Baginya, Ullr akan diwarisi anaknya. Dia bisa bernapas lega, mengingat ada penginap terpaksa ditutup karena tidak memiliki penerus.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun Google News Medcom.id
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id