Pada akhir Desember 2015, ASIRI (Asosiasi Industri Rekaman Indonesia) yang terdiri dari perusahaan-perusahaan rekaman menyatakan kerja sama dengan PIMRI (Perkumpulan Industri Media Replika Indonesia) yang terdiri atas lima perusahaan pengganda cakram padat. Lima perusahaan yang tergabung dalam PIMRI, sebelumnya dikenal sebagai produsen produk-produk bajakan yang beredar luas di masyarakat.
Kesepakatan dua pihak yang sebelumnya bertolak belakang itu melahirkan sebuah produk bernama VCD Karaoke Super Ekonomis. Dijual dengan harga pasar di kisaran Rp5.000, diharapkan produk ini mampu membendung produk musik bajakan.
Di kalangan musisi, langkah ASIRI ini menimbulkan kontroversi.
"Musisi di luar Nagaswara banyak yang protes, aneh. Musisi yang di kami, tahu perjuangan kita untuk kepentingan bersama. Tidak ada artis Nagaswara yang protes, terutama teman-teman pencipta lagu di Nagaswara,” kata Rahayu Kertawiguna, CEO Nagaswara dan Wakil Ketua ASIRI, kepada Metrotvnews.com.
Opini beda datang dari musisi Erwin Gutawa. Ayah dari penyanyi Gita Gutawa itu menganggap langkah ASIRI mencerminkan upaya menghadapi pembajakan menemui jalan buntu.
"Kalau gue, konteks seniman. Cerita itu (VCD Karaoke Super Ekonomis) jadi bentuk frustrasinya orang kita. Karena kita tahu ASIRI mencoba berantas pembajakan dari dulu, mungkin mentok. Satu-satunya jalan, ya mungkin dengan berteman. Tapi aku tidak tahu dinamika yang sebenarnya seperti apa,” kata Erwin, saat ditemui Metrotvnews.com di Jakarta, beberapa waktu lalu.
"Kalau sebagai musisi, aku merasa itu tindakan tidak betul. Kenapa berkompromi dengan sesuatu yang tidak betul (para pembajak). Positive thinking-nya, mungkin sudah tidak ada cara lain," jelas Erwin.
Menggandeng pembajak dengan membuat produk legal yang murah, menurut Erwin, adalah penyelesaian persoalan secara ekonomi. Tetapi bagi Erwin yang sudah lebih dari dua dekade malang melintang di industri musik Indonesia, musik tak semata soal ekonomi.
"Kita main musik untuk hidup, tetapi tidak semata-mata untuk itu. Lebih dari itu, bagaimana kita bisa bangga karya. Kalau ini mungkin pemecahan secara ekonomi saja, tetapi tidak cuma itu. Ada kebanggaan dalam berkarya. Tidak bisa disalahkan juga karena ASIRI anggotanya record label yang notabene pengusaha. Kalau pengusaha, bisnis memakan porsi yang lebih besar. Lain halnya kalau kita bicara dengan asosiasi seniman, tentu sudut pandangnya kesenian atau karya yang porsinya lebih besar dan penting. Jadi, sah-sah saja," ujar Erwin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News