Di Amerika Serikat, seorang musisi Country bernama Randy Travis merilis single berjudul "Where That Came From" menggunakan teknologi AI. Randy sendiri menderita stroke dan AI telah menyelamatkan karier musiknya. Teknologi AI yang digunakan Randy mampu membuat suaranya kembali ke masa sebelum sakit. Apa yang dilakukan Randy cukup menggambarkan bagaimana teknologi semakin tak terbendung, melaju lebih cepat ketimbang diskursus kontroversinya.
Grammy Awards, ajang penghargaan musik terbesar di dunia, memberikan regulasi terkait musik AI. Mereka tidak menerima karya yang sepenuhnya diciptakan oleh mesin meski tidak seratus persen menolak. AI dianggap sebagai bagian dari proses kreatif yang tak terhindarkan.
Lantas, bagaimana dengan respons insan musik di Indonesia dalam merespons teknologi ini? Terkhusus dalam ajang Anugerah Musik Indonesia (AMI) Awards yang menjadi salah satu penghargaan terbesar para musisi di Indonesia.
"Sebelumnya kami telah melakukan FGD (Focus Group Discussion), kami membahas banyak aspek tentang AI. Tema dari FGD kami itu adalah, sudah waktunya kah memberikan penghargaan kepada AI? Kalau pun sudah punya program yang bisa mendeteksi musik dengan AI, dapatkah menjelaskan berapa persen porsi AI? Berapa persen manusia? Belum ada teknologi itu. Jadi, kita harus bijaksana. Mungkin tahun depan kita harus memberikan self-assessment kepada peserta untuk menyatakan karya yang mereka daftarkan ke AMI, AI atau bukan," kata Candra Darusman, Ketua Umum AMI, dalam wawancara eksklusif dengan Medcom.id.

Candra Darusman (Foto: Instagram @officialcandradarusman/@felix.itsme)
Candra yang juga seorang musisi memiliki kekhawatiran soal musik AI. Bukan sebatas konteks AI dan ajang penghargaan AMI, tetapi lebih dalam dari itu. Kehadiran musik-musik AI ditakutkan akan mendegradasi makna musik itu sendiri. Musik bukan lagi tentang perjalanan rasa manusia sebagai makhluk hidup, bukan lagi tentang proses kreatif dari endapan panca indra. Tetapi, menjadi sebatas "lagu enak dan tidak enak."
"Tapi, yang saya khawatir, yang saya prediksi adalah konsumen masyarakat Itu kan urusannya enak atau tidak enak. Bukan urusan ini AI, atau manusia yang menciptakan. Akibatnya apa? Akibatnya adalah hati kita itu akan terbiasa disiram oleh musik yang dibuat oleh mesin sehingga rohnya hilang. Dan saya nggak tahu pengaruh psikologisnya apa ini ke depan kalau kita sudah terbiasa dengan musik yang diciptakan sepenuhnya oleh mesin. Tapi, yang jelas kita enggak bisa bendung dan kita harus menyikapinya dengan bijaksana," lanjut Candra.
Penerapan regulasi terkait AI masih terus digodok AMI. Rencananya, pada penyelenggaraan AMI Awards tahun 2025 regulasi itu mulai diterapkan.
Baca juga: Daftar Lengkap Nominasi AMI Awards 2024, Sal Priadi Bersaing Ketat dengan Bernadya |
Bagaimana Musisi Merespons AI?
Pada pertengahan tahun ini, Westlife, grup asal Irlandia, memanfaatkan teknologi AI untuk merilis single berbahasa Mandarin. Selama berbulan-bulan mereka berjibaku dengan mesin kecerdasan buatan untuk menduplikasi karakter vokal masing-masing personel yang dibuat fasih berbahasa Mandarin. Hal ini lantas menimbulkan pertanyaan lebih jauh, apakah musik yang kita dengar itu benar-benar Westlife? Apakah musik hasil komputasi dapat menggantikan sensasi mendengarkan musik asli yang direkam dan dicipta dengan segenap jiwa dan raga manusia?
Di Indonesia sendiri, ada catatan menarik terkait bagaimana musisi merespons AI. Adalah Maliq & D'Essentials yang merespons fenomena ini lewat sebuah album bertajuk Can Machines Fall In Love?

Maliq seperti membuka diskusi lebih dalam tentang esensi dari karya musik itu sendiri, yaitu rasa. Alih-alih larut dalam perdebatan panjang tentang mesin lawan manusia, mereka justru menutup polemik dengan pertanyaan mendasar, "Apakah mesin (dapat) jatuh cinta?"
"Kami tidak membenci teknologi, namun menganggap perasaan masih suatu hal yang terkuat untuk sampai ke pendengar dan kami belum merasakan teknologi bisa menggantikannya," jelas Widi, penulis lagu-lagu Maliq & D'Essentials.
Saat ini, dengan common sense hari ini tentu jawaban dari judul album Maliq adalah tidak. Mesin tidak dapat merasakan apa yang dirasakan manusia, terutama rasa jatuh cinta yang begitu kompleks. Tetapi, bayang-bayang kegusaran Candra Darusman tetap menghantui. Bagaimana bila manusia lantas tak lagi peduli soal rasa?
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News