Dalam penelitiannya yang bertajuk The Origins of Creativity: The Case of the Arts in the United States since 1850, Profesor Borowiecki meneliti data sensus penduduk Amerika Serikat sejak 1850 dengan tujuan mengidentifikasi berbagai tren, demografi, dan kondisi sosial ekonomi yang memengaruhi perkembangan profesi kreatif.

(Jurnal penelitian Profesor Borowiecki, sumber: https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=3465590)
Ia pun akhirnya menemukan fakta sederhana, yaitu: sistem kapitalisme memang ramah bagi anak-anak orang kaya, tapi kejam bagi mereka yang hanya mengandalkan bakat tanpa diiringi dengan privilege.
Menurutnya, anak-anak dari keluarga yang terlahir kaya memiliki akses lebih luas untuk menekuni seni, mulai dari waktu, fasilitas, hingga rasa aman dalam memilih profesi yang secara ekonomi sering kali tidak stabil.
baca juga:
|
"Jumlah pekerja kreatif perempuan sebenarnya cukup banyak. Tapi, banyak yang terhambat karena masalah waktu, sehingga sulit benar-benar fokus menekuni profesi ini. Selain itu, ketidaksetaraan ras masih terjadi dan perubahannya berjalan lambat. Pendidikan sendiri memegang peranan penting untuk membuka kesempatan lebih luas di dunia kerja kreatif," tulis Profesor Borowiecki.
Terlahir di Keluarga Kaya Merupakan Sebuah Privilige
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa pendidikan memang penting, tapi kelahiran di keluarga kaya justru punya pengaruh besar dalam menentukan peluang seseorang menjadi seniman atau menjadi profesional di bidang kreatif. Penelitian ini seolah mengingatkan bahwa di dunia kapitalis, talenta saja tidak cukup, rekening orang tua tetap jadi sebuah penentu.Riset ini sekaligus menegaskan apa yang sering kita lihat sehari-hari. Anak orang kaya bisa santai belajar melukis di luar negeri, bikin musik eksperimental, atau sekadar jadi “seniman full time” tanpa harus pusing memikirkan pendapatan atau cicilan.
Sementara itu, anak dari keluarga pas-pasan harus mendengar nasihat klise dari orang tua atau orang terdekat mereka: “Jangan mimpi jadi seniman, kalau nggak mau hidup susah", "Gambar nggak bikin kamu hidup sukses" atau "Jadi anak band nggak ada masa depannya".
Profesor Borowiecki juga menerangkan dalam penelitiannya dengan mengambil contoh kasus di Amerika Serikat.
Ironisnya, pekerja kreatif justru cenderung memiliki penghasilan lebih rendah dibanding pekerja di sektor korporat. Artinya, untuk bisa bertahan hidup di jalur seni, butuh modal awal berupa kestabilan ekonomi yang nyatanya tidak semua orang miliki.
"Setiap tambahan pendapatan keluarga sebesar USD10 ribu (sekitar Rp166 juta) meningkatkan kemungkinan seseorang memilih profesi kreatif hingga 2%. Artinya, anak dari keluarga dengan kekayaan USD1 juta (sekitar Rp16 miliar) punya peluang 10 kali lebih besar untuk jadi seniman dibandingkan anak dari keluarga dengan kekayaan USD100 ribu (sekitar Rp1,6 miliar)," tulis jurnalis Luke Savage dari Jacobin yang merujuk pada penelitian Borowiecki, dikutip Medcom.id pada Senin, 29 September 2025.
PR Berat Pemerintah: Pendidikan Masih Mewah
Profesir Borowiecki juga menekankan pentingnya pendidikan dalam membuka jalan menjadi seniman. Tapi masalahnya, akses pendidikan bermutu masih jadi barang mewah. Di Indonesia sendiri, kuliah jurusan seni dan pendidikan berkualitas sering kali hanya bisa dijangkau oleh mereka yang berdompet tebal dan terlahir dengan privilige.Sementara itu, mereka yang berasal dari keluarga pas-pasan harus berpikir dua kali sebelum mengejar cita-cita di dunia seni atau kreatif. Tak jarang, mereka juga harus berhadapan dengan harapan orang tua yang lebih rela anaknya bekerja di perusahaan multinasional atau menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), ketimbang “membuang waktu” untuk melukis atau bermusik.
Padahal, seharusnya setiap anak bangsa memiliki kebebasan sejati untuk mengekspresikan diri, entah itu dengan menulis, melukis, atau bermusik. Sayangnya, kenyataan hari ini menunjukkan jurang yang kian lebar antara si kaya dan si miskin.
Ironisnya, hingga kini Indonesia masih gagal mewujudkan sila ke-5 Pancasila: “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.” Sistem yang katanya berlandaskan “Ekonomi Pancasila” justru masih lebih ramah pada mereka yang terlahir kaya raya. Kebebasan berekspresi memang ada, tapi hanya sebatas hak istimewa bagi mereka yang sudah punya jaring pengaman finansial sejak lahir.
"Kalau punya waktu luang, pendidikan yang baik, dan kondisi ekonomi yang aman bisa bikin orang lebih mungkin menekuni hal-hal kreatif, maka semakin jelas kalau tiga hal itu seharusnya jadi hak semua orang, bukan cuma milik segelintir kalangan," ujar Profesor Borowiecki.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id