"Pameran bersama itu digelar di Bentara Budaya Bali (BBB), lembaga kebudayaan nirlaba Kompas-Gramedia di Ketewel, Kabupaten Gianyar selama dua minggu, 8-20 Februari 2016," kata Penanggungjawab Teknis pameran tersebut, Putu Aryastawa di Denpasar, Jumat, (5/2/2016).
Kelompok Bol Brutu Yogyakarta terdiri atas perupa, akademisi, peneliti, pengamat sosial budaya.
Mereka di antaranya, Kris Budiman, Putu Sutawijaya, Apriadi Ujiarso, Boen Mada, Cuk Riomandha, Darwi Made, Edy Hamzah, Ida Fitri, Linggar Saputra Wayan, Ninuk Retno Raras, Nur Cahyati Wahyuni, Vembri Waluyas, Wahu dan Wiedy Aditantra.
"Pameran yang digelar kali ini merupakan sebuah upaya untuk mengapresiasi situs-situs purbakala yang termarjinalkan dan belum mendapatkan apresiasi semestinya," ujar Kris Budiman yang juga akademisi Universitas Gadjah Mada.
Situs-situs dari zaman klasik (Abad VIII-XV) menjadi fokus pameran yang berlangsung di Pulau Dewata hingga 20 Februari 2016.
Adapun tajuk "Abhayagiri", yang bermakna gunung atau bukit yang damai, meminjam nama Situs Ratu Boko di Yogyakarta, sebagaimana disebutkan dalam sebuah prasasti bertarikh 792 M.
"Abhayagiri" bukanlah eksibisi perdana dari kelompok yang didirikan oleh Kris Budiman, Cuk Riomandha, Ery Jabo dan Putu Sutawijaya.
Sebelumnya, Bol Brutu telah menyelenggarakan berbagai pameran seperti How Brutu Are You, Bergana Boleh Saja yang digelar di berbagai kota.
Kelompok ini juga sempat merilis buku bertajuk Arca dan How Brutu Are You.
Pameran tersebut senafas dengan semangat kuratorial Bentara Budaya yang memberi ruang kepada seni-seni atau program kultural klasik, tradisi maupun modern yang belum memperoleh apresiasi serta publikasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News