(Foto: Dokumentasi)
(Foto: Dokumentasi)

Sore Memikat dengan Melodi Masa Lalu

Agustinus Shindu Alpito • 07 Oktober 2014 13:32
Suasana di waktu sore kerap membawa mood yang sentimental -- kadang membawa kerinduan dan gejolak. Keindahan sore inilah yang lantas menginspirasi Ade Firza Paloh, Ramondo  Gascaro, Reza Dwiputranto, Awan Garnida, dan Bemby Gusti, untuk mengejewantahkannya ke dalam musik dengan band Sore.
 
Kisah Sore bermula dari persahabatan tiga laki-laki, Ade, Mondo, dan Awan. Ketiganya bersahabat sejak masa kecil. Kebersamaan antara Ade dan Mondo yang dijalin sejak kelas 2 SD inilah seperti suratan takdir yang membawa mereka larut dalam musik Sore.
 
“Gue dan Mondo berteman dari SD sampai SMP kelas 1. Kalau dengan Awan berteman dari kelas 4 SD, tapi (dengan Awan) beda kelas waktu di Perguruan Cikini. Kenangan emosional banyak banget, namanya sahabat. Apalagi sama Mondo, gue sering main ke rumah dia, dia juga gitu. Awan juga gitu sih,” kata Ade kepada medcom.id saat disinggung mengenai persahabatan dalam tubuh personel Sore.

Kebersamaan Ade, Mondo, dan Awan berlanjut hingga kehidupan mereka di Amerika Serikat, mereka sama-sama menempuh studi di sana meski dengan durasi yang berbeda. Mondo selama 8 tahun, Ade 11 tahun, dan Awan 8 bulan. Tiga lelaki ini mencintai The Beatles dan kerap bertukar pikiran soal musik. Meski pada saat itu mereka belum ada rencana membentuk sebuah band.
 
“Mondo yang dari kecil intuisi musiknya sudah kuat. Dia yang paling musisi di antara kami bertiga. Awan sebenarnya enggak begitu, tapi dari SMA suka nge-band (membawakan) lagunya The Beatles, jadi akhirnya milih hidupnya di dunia musik juga. Kalau ditanya rencana kami dulu apa, penginnya jadi bandit,” kenang Ade sembari tertawa kecil.
 
Awal dekade 2000-an, sepulang dari menimba ilmu di AS, persahabatan antara Awan, Ade, dan Mondo terus berlanjut. Lantas, Awan mengenalkan salah satu kawannya, Bemby Gusti, yang kelak menjadi penggebuk drum Sore.
 
“Awalnya Awan ajak nge-band. Dulu (kami) bikin band juga namanya 'Awan Lembayung'. Rekaman bareng Bemby sama Mondo dan Awan. Pernah bikin proyek namanya Bahagia. Terus Awan cetuskan ide bikin band, tadinya gue enggak mau, pengin bisnis saja. Tapi akhirnya gue oke, terus dikenalin ke Eca (panggilan akrab Reza Dwiputranto). Pertamanya Eca merasa enggak masuk sama musiknya, tapi bisa juga. Akhirnya, kita bikin namanya Sore. Gue sama Mondo yang bikin namanya,” kata Ade.
 
Munculnya Sore tidak lepas dari kebangkitan musik independen di awal 2000-an ketika David Tarigan bersama Aksara Records mengakomodasi band-band independen berkualitas. Akhirnya, lahirlah album kompilasi “JKT:SKRG” yang berisi The Brandals (sekarang BRNDLS), The Adams, Ruang Hampa, C’mon Lennon, Sajama Cut, Seringai, The Sastro, Teenage Death Star, The Upstairs, Zeke & The Popo, dan tentu saja Sore.
 
Sore juga dikenal eksentrik dengan personel yang serba kidal. Ternyata, Paul McCartney lah yang 'bertanggung jawab' atas hal itu. “Enggak ada kesengajaan membuat band dengan personel kidal. Kami dari dulu sukanya The Beatles, jadi meniru Paul McCartney. Dari awal main gitar memang bisanya kiri, enggak bisa kanan. Termasuk si Awan main kidal juga karena The Beatles,” kata Ade. Hal itu lantas ditanggapi Eca, “Kalau gue emang dari dulu coba main gitar kidal tapi pakai gitar untuk tangan kanan karena enggak ada yang bimbing dan enggak ada gitar left-handed. Jadinya ya gue cari sendiri enaknya bagaimana (gitar dengan susunan senar tangan kanan dan dimainkan dengan tangan kiri). Untuk sehari-hari kadang ada yang lebih nyaman pakai kiri, kayak kalau lagi main bola.”
 
Musik Sinematis dan Lirik yang Memikat
 
Perjalanan Sore lantas masuk ke tahap selanjutnya dengan pinangan dari Nia Dinata untuk mengisi soundtrack film “Arisan!” (2003), dan film debut Joko Anwar sebagai sutradara “Janji Joni” (2005). Hasil menjanjikan diberikan Sore yang menyumbang lagu “Bebas” di film “Arisan!”, serta dua lagu dari personel Sore di film itu sebagai musisi tunggal, Ramondo Gascaro menyumbang lagu “Oh Jakarta” dan Bemby Gusti memberi lagu “Underwater Zen”.
 
Sedangkan di film “Janji Joni”, Sore menyumbang lagu menderu, “Funk the Hole”. Joko  Anwar memiliki kenangan tersendiri tentang Sore. Ia mengenalnya secara tidak sengaja. "Kebetulan, waktu gue jadi wartawan di Jakarta Post, waktu pulang lewat Kemang (Jakarta Selatan) gue lihat ada band mau main (di sebuah venue), random. Akhirnya, gue tonton dan gue liput. Setelah itu gue tertarik, dan bukan hanya di film yang gue garap ada Sore tapi di film yang gue tulis kayak ‘Quickie Express’ juga ada Sore,” kata Joko kepada Metrotvnews.com, dalam sebuah kesempatan yang lain.
 
Setelah proyek “Janji Joni”, Joko semakin larut dengan musik Sore, ide beberapa film yang ia kerjakan bahkan muncul kala mendengarkan lagu Sore.
 
“Lagu mereka sinematis banget. Ketika lu dengar lagu mereka, keluar visual dengan sendirinya tanpa perlu lu bayangin dan Sore punya kekuatan yang sangat kuat. Film gue ‘Modus Anomali’ itu muncul setelah gue dengar lagu ‘Bogor Biru’, luar biasa efeknya. Bagi gue ‘Bogor Biru’ itu lagu yang sangat menyeramkan, suara waktu Ade nyanyi itu (bagai) suara pembunuh,” terang Joko.
 
Pada 2015, Joko Anwar juga memastikan akan merampungkan sebuah film berjudul “Eksekutors” yang terinspirasi dari lagu “Lihat” yang terdapat di album “Centralismo”. “Proses kreatifnya, waktu gue dengar lagu ‘Lihat’, gue kebayang akhir film ‘Eksekutors’. Gue kebayang ada lima anak muda di suatu gudang dikelilingi oleh wartawan dan polisi. Ketika gue dengar ‘Lihat’, gue bayangin salah satu dari mereka keluar dan nembakin pistol,” kata Joko. Joko tidak sendirian, aktris yang kini menjadi produser sekaligus sutradara, Ria Irawan, juga menjadi 'korban' Sore. Ria kini tengah mempersiapkan sebuah film berjudul “Gila & Jiwa”, yang terinspirasi dari salah satu lagu Sore.
 
“Saya terinspirasi dari Sore, satu-satunya grup band di Indonesia yang juara soal visual film. Dari lagu ‘Sssst...’ saya terinspirasi membuat skenario film,” kata Ria pada pertengahan Februari 2014 di Hard Rock Cafe, Jakarta, saat menggelar jumpa pers film “Gila & Jiwa”.
 
Lepas dari dampak visual yang dihadirkan Sore, sekiranya musik Sore sudah menyeret pendengarnya ke sebuah labirin gelap yang belum pernah dibayangkan sebelumnya. Sore seolah menghadirkan nuansa yang benar-benar baru. Teror kepedihan, pilu, rintihan hati yang terluka, seolah terus berbisik seiring lagu-lagu mereka diputar. Sejalan dengan suasana gelap yang dihadirkan, Sore juga menawarkan penawar hati yang begitu teduh seperti, “Aku”, “Mata Berdebu”, atau “Karolina”.
 
“(Nuansa gelap) Itu lebih di mood. Kami lebih ke melankolis. Tapi, kami juga menggabungkan dengan suasana yang senang, walaupun enggak lupa dasarnya hidup itu derita. Kita harus ke atas dulu tapi balik lagi ke bawah. Ya itulah kehidupan. Di semua orang (ada pengalaman sisi gelap kehidupan), dan itu tertuang di lagu (Sore) terus. Walaupun di lagu yang up-beat juga tetap aja ada yang nuansa yang seperti itu. Gelap ataupun terang, kita senang buat berbagi atau menuangkan dalam sesuatu. lewat lagu dan musik,” kata Ade.
 
Selain dampak visual yang muncul dari lagunya, Sore juga membuktikan bahwa mereka mampu membuat musik dan lirik sama baiknya. Metafora yang digambarkan dalam lirik begitu hidup, bukan dengan tutur kata yang rumit, menggurui, atau terlalu rapih. Sore menghadirkan lirik yang imajinatif, absurd, tetapi elegan dan hidup.
 
Simak penggalan lirik “Aku terenyuh hatiku, mendengar cerita dari dirimu, duka dirimu/ Kau peluk erat tubuhku yang kecil ini, air matamu menetes membasahi bajuku,” dari lagu “Layu” yang terdengar polos tetapi tidak “gampangan”. Atau lirik lagu “Vrijeman” yang menghadirkan tokoh fiktif bernama Parmin yang seolah datang dari masa silam dan hidup hingga kini di ruang imaji. Lirik yang absurd dari Sore memang lahir dari sebuah kejujuran perasaan yang acapkali memang tidak bisa dibahasakan, muncul dari sekat-sekat jiwa yang sulit dipahami.
 
“Kalau soal lirik itu dari karakter sendiri-sendiri (personel Sore) sebagai orang. Bisa cablak-cablaknya, melayu-melayunya, bisa kayak ada sembunyinya kayak orang melayu. Metaforik gitu. Kalau lirik prosesnya personal,” tandas Ade.
 
“Kalau membuat lagu dari musiknya dulu. Kata-kata pertama itu jadi cerita dari lagu itu. Misalnya, chord progression dulu di gitar atau piano, baru setelah itu kata. Nah, kata pertama yang mucul antara (bahasa) Inggris atau Indonesia jadi kunci dari lagu itu. Lebih bersifat spontan sih, tahunya nanti ternyata tentang ini atau itu. Kayak kerasukan sih proses kayak gitu,” sambung Ade.
 
Pergi Tanpa Pesan
 

Entah benar atau tidak anggapan sebuah lagu yang dinyanyikan terus menerus terkadang membuat kisah di dalamnya menjadi kenyataan bagi si pelantun. “Jauh perjalanan, mencari  intan pujaan, aduhai... di mana puan, mengapa pergi tanpa pamitan,” adalah lirik dari lagu lawas berjudul “Pergi Tanpa Pesan” yang dibawakan kembali oleh Sore. Memang terdengar seperti mengait-ngaitkan, tetapi kisah itu terjadi di tubuh Sore.
 
Ramondo Gascaro, sosok yang ikut membidani lahirnya Sore hengkang di tahun 2012. “Kalau dia ambil jalannya begitu, ya kita hormati. Semua pasti ada alasannya. Dia juga enggak pamitan bilang kenapa,” kata Ade. Ucapan Ade itu kemudian disusul oleh Bemby, “(Setelah tanpa Mondo) Band ini semacam lahir kembali.”
 
Tentu banyak kenangan yang tumbuh dan hidup antara Sore dan Mondo atau khususnya Ade dan Mondo yang telah berkawan sejak kecil. Sebagai dedikasi untuk Mondo, lahirlah  sebuah lagu berjudul “Bantal Keras”. Lagu pelan di track ke-tiga album kompilasi “Sorealist”.
 
“Lagu ‘Bantal Keras’ dedikasi buat dia (Mondo) juga. Pas bikin tiba-tiba keinget dia. Tadinya dibuat agak kencang, tapi Bemby yang bilang dipelanin. Dia (Mondo) tahu kalau itu buat dia,” kata Ade. Ketika disinggung mengenai kemungkinan Sore kembali bersama Mondo, Ade menjawab dengan bijak. “Waktu itu pernah telfon Mondo, buat tampil di suatu acara. Main satu atau dua lagu aja. Tapi dia bilang, ‘Terlalu cepat kali ya, nanti-nanti saja,’ dan Mondo udah jarang kumpul, komunikasi juga enggak ada,” beber Ade.
 
Baik Ade, Eca, Bemby, atau Mondo, pernah mengharu biru akan musik yang mereka  mainkan. Musik yang menjadi bagian hidup masing-masing personel dan telah membuat mereka terpukau akan keindahan Sore meski mereka adalah bagian di dalamnya.
 
“Kami cengeng semua. Biasanya sebelum tampil terakhir (menangis). Pas latihan juga pernah. Kalau Eca suka (menangis karena) romantisme kebersamaan anak-anak Sore. Itu juga normal. Mondo juga pernah nangis pas peluncuran album. Itu berarti kejujuran dan hati. Kalo Awan juga (mungkin nangis) tapi gengsi,” kata Ade.
 
“Los Skut LeBoys”
 
Babak baru Sore tanpa Mondo sebenarnya sudah dibuktikan dengan lahirnya album kompilasi “Sorealist” pada 2013. Album dengan 13 lagu itu terdiri dari 3 lagu baru dan 10 lagu yang menjadi potret perjalanan Sore. Sedangkan untuk album penuh penerus “Ports of Lima”, “Los Skut LeBoys” adalah jawabnya. “Los Skut LeBoys” sendiri disebut Ade sebagai ungkapan anak-anak Sore melalui musik yang lebih santai dan lepas. Tetapi agaknya sulit menerka seperti apa sikap santai yang dimaksud Ade mengingat wujud musik Sore selama ini.
 
Kepada Metrotvnews.com, para personel Sore membeberkan sedikit bocoran lagu mereka di album penuh ke-tiga ini. Yang menarik adalah di album “Los Skut LeBoys” akan menampilkan lagu instrumental pertama Sore dengan judul “Sunday Dinner Forgotten”, dengan instrumen trumpet yang dimainkan Ade. Lagu ini disebut Ade terinspirasi dari anaknya, Ernestito.
 
Eca yang dikenal menciptakan lagu-lagu reflektif, kini mencoba memasukkan lagu yang diilhami dari potret sosial kaum mapan yang gemar bepergian dan hura-hura. Lagu itu diberi judul “Pelesir” dan digarap bersama Ade.
 
Selain menciptakan “There Goes” yang telah menjadi singel pertama “Los Skut LeBoys”, Bemby juga memasukkan satu buah lagu reflektif berjudul “Belajar untuk Riang”. Lagu ini terinspirasi kala Bemby melihat seorang peminta-minta yang sudah tidak memiliki tangan dan kaki di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan. Saat Bemby melintas, tiba-tiba hujan mengguyur dan si peminta-minta itu hanya menepi ke trotoar dan menengadahkan kepalanya ke langit, seolah menyambut hujan.
 
Melihat ke belakang, dua album penuh Sore telah membuktikan bahwa mereka mampu mengembalikan musik pop melalui fusi yang rumit dari pelbagai jenis musik. Musik yang dimasak dengan penuh kecintaan terhadapnya. Musik yang jujur tanpa pusing dengan carut-marut industri.
 
“Centralismo” dan “Ports of Lima” telah menuai pujian. Lagu-lagu yang dihadirkan Sore seolah melewati zamannya. Sebuah musik yang memberi harap akan masa depan, tetapi dalam pacu melodi masa lalu. Melalui “Los Skut LeBoys”. Sore tidak ingin terbebani dengan capaian yang pernah disematkan kepada mereka di dua album penuh sebelumnya.
 
“Kami main musik dari kejujuran. Kami main musik yang penting bisa menghibur diri kita sendiri dulu. Kami dulu menghibur berlima, dan sekarang berempat. Kalau sudah pada puas baru kita bikin (album). Orang jadi suka juga, itu bonus. Yang membebani itu pujian orang yang menjauhkan dari silaturahmi. Gue bermusik, dengar lagu orang ya itu buat gue kenal sama dia. Begitu juga sebaliknya. Musik buat jembatan silaturahmi sebenarnya,” kata Ade.
 
“Los Skut LeBoys” berisi 12 lagu. Uniknya, Sigit Pramudita, gitaris Tigapagi, didaulat menjadi produser dalam album ini. Bemby mengatakan bahwa kehadiran Sigit dipesan  khusus oleh Ade untuk “nge-rem” keinginan-keinginan Ade dalam mengeksplorasi musik di album ini.
 
“Saya (Bemby), Ade, Ading, dan Sigit jadi produser. Kebetulan sama Sigit juga satu visi, jadi ya sudah diajak dan Ade butuh di-rem,” kata Bemby.
 
Jika dimaknai lebih dalam lagi, album penuh ke-tiga ini tentu menjadi catatan perjalanan tersendiri Sore dengan segala yang telah mereka jalani. Meminjam judul singel pertama di album anyar, “There Goes”. Nampaknya itulah yang tersirat pada Sore kini. Semua yang lalu biar berlalu. “Los Skut LeBoys” agaknya menjadi sebuah pembuktian bahwa Sore tidak akan tergulung malam.
 
 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FIT)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan