Djaduk Ferianto (Foto: Achmad Wildan)
Djaduk Ferianto (Foto: Achmad Wildan)

Industri Musik Indonesia di Mata Djaduk Ferianto

28 Februari 2019 19:53
“Semua pelaku musik itu punya kepentingannya, tapi “pop industri”, itu hanya bagian dari kepentingan pribadi saja,” ujar Djaduk.
 
Pertunjukan musik yang di gelar di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki oleh kelompok musik Kuaetnika asuhan Djaduk Ferianto sukses digelar pada 23 Februari 2019. 
 
Dalam aksinya, Kuaetnika membawakan materi dari album Sesaji Nagari yang dirilis pada Desember 2018.

Malam itu,  Kuaetnika berhasil menghadirkan gelak tawa dan menuai pujian dari para penonton yang nyaris memenuhi area konser. Kualitas Etnik (singkatan dari Kuaetnika) yang digawangi Djaduk bersama dua belas perkusi lainnya menjadi alternatif tersendiri di lautan genre musik dalam industri musik Indonesia.
 
Dua belas pemain perkusi yang terlibat dalam pentas malam itu adalah Purwanto (bonang, reong, calung bali, rebana) Sukoco (tagading, kendang bali, reong), Indra & Agus (keyboard), Dhanny (bass), Benny (drum), Arie (guitar), Wibowo & Sony (pamade, saron), I Kadek Dwi Santika (suling bali), Silir & Anita (vokalis) menjadi formasi yang kokoh dengan latar belakang suku budaya yang berbeda-beda, ditambah Djaduk (vokalis, kendang bali, ketipung, suling) untuk meramu musik nusantara menjadi lebih progresif.
 
Sesaji Nagari sendiri merupakan album yang dipersembahan untuk masyarakat perkotaan dengan menggabungkan alat musik tradisional dan elektronik untuk memberi kesan bahwa musik ini dapat diterima oleh kemajuan dan modernitas perkotaan pada anak muda zaman sekarang.
 
Industri Musik Indonesia di Mata Djaduk Ferianto
 

Kemewahaan dari pertunjukan Kuaetnika adalah dengan memberi kritik sosial dan budaya dengan cara yang ringan dan penuh tawa.
 
Isu tentang RUU Permusikan, hip-hop Young Lex yang mulai jauh dari kritik, pruralisme, industri musik dengan strategi yang marketing yang menjemukan, sampai minimnya pengetahuan generasi yang akrab dengan internet, semua dibungkus dengan baik dalam dialog nuansa kritik penuh tawa. Salah satu penggalan canda yang mengalir di atas panggung seperti berikut.
 
Djaduk: Indonesia itu ibaratkan taman bunga. Di taman itu, keberagaman bunga menjadi keindahan itu sendiri. Nah! Ketika kita melihat keberagaman itu (sebagai) sebuah permusuhan, kita (masyarakat Indonesia) mengalami sebuah kemunduran. Parah!
 
Pemandu acara: Nah kalau bunga di Jawa saya banyak tahu. Ada bunga sepatu, mawar. Ada kembang api. Ada kembang yang bikin diabetes. Kembang gula, sehari makan itu dua kilo, modar.
 
Djaduk: Ada lagi jadi penyanyi, Heti Kuskembang
 
Pemandu acara 2: Nah keliatan lagi eranya engga millennial. Kalo kita Kembang Soekamti
 
Pemandu acara: Soalnya makananpun kita engga yang lokal-lokal, tapi luar negri. Lebih berkelas
 
Djaduk: Emang apa yang kamu makan?
 
Pemandu acara: Chicken soup Father Minus
 
Djaduk: Lho apa itu?
 
Pemandu acara: Sop Ayam Pak Min

 
Candaan plesetan itu langsung direspons gelak tawa oleh para penonton yang hadir.
 
Dalam beberapa dialog sebelum musik dari album Sesaji Negari masuk, Djaduk menjadi pemandu layaknya datuk yang mendongengi kami para hadirin dalam mengenal suku budaya Indonesia.
 
Seusai pertunjukan, rasanya kurang pas bila tidak bertemu dengan sang pentolan grup ini. Dengan cepat saya menuju backstage. Suasana begitu hangat melihat Djaduk menuai banyak pelukan dari keluarga dan rekan-rekannya. Akhirnya tiba giliran saya, pria 55 tahun berpakaian tenun biru khas jawa itu sedang dalam kesendiriannya asyik meneguk segelas teh hangat dan rokok yang manggantung di antara jari telunjuk dan tengah di tangan kanannya. 
 
Obrolan pun mengalir begitu saja antar pria dari generasi berbeda, seputar musik Indonesia.
 

Seberapa penting musik tradisional untuk diperkenalkan di zaman sekarang?
 
Penting sekali, karena banyak genre musik di Indonesia. baik yang diwakili oleh indrustri, pop rock. Tapi ada juga musik yang di luar industri dan tidak dilirik oleh industri, yaitu musik yg engga marketable. Contohnya musik-musik tradisi dari Aceh sampai Merauke, dan itu terus-terusanan masih berjalan. Itulah mengapa penting untuk tahu musik-musik yang ada di Indonesia
 
Bagaimana seorang Djaduk menginterpretasi album baru Kuaetnika?
 
Lagu daerah di Indonesia itukan banyak, tapi kalo kita lihat, lagu-lagu daerah dalam bentuk kaset dan buku ya lagu itu-itu lagi yang sering dijual. Dari Kalimantan, Ampar-ampar Pisang. Angin Mamiri dari Sulawesi. Padahal, provinsi lain punya juga lagu lagu bagus, tapi belum dipopulerkan dan disuguhkan. Nah sekarang saatnya mengabarkan kembali setiap daerah punya lagu (yang menarik untuk diangkat), pemerintah harusnya juga punya peran dalam hal itu. Makanya saya dengan Kuaetnika itu memilih lagu-lagu daerah untuk diaransemen kembali.
 
Apakah musik etnik punya potensi untuk ditampilkan dalam panggung-panggung besar?
 
Saya kira bisa dikatakan tidak juga gapapa, iya juga bisa. Karena ketika kita melihat musik yang ada di Indonesia itukan sangat beragam makanya banyak pemerintah Indonesia yang salah meliput musik Indonesia itu apa. Sebenernya apa sih musik Indonesia? Ya ada dangdut, keroncong, tradisi, musik daerah, ada underground, ada yang kontemporer. Ini celakanya temen-temen yang ada di industri terkadang merasa musik Indonesia itu musiknya dia yang memiliki modal.
 
Kalau dibilang modal ya semuanya punya modal, tapi apa kepentingannya? Ada yang kepentingannya untuk populer saja pribadinya. Tetapi ada  juga yg punya kepentingan investasi seperti budaya. Nah yang aku lakukan itu sebagai bentuk investasi budaya dengan punya pesan-pesan moral di dalamnya untuk jangka waktu kedepan. Seperti (lagu) Kadal Nongak itukan ada pesan moral, memberi pemahaman yang luar biasa. Jadi inilah yg menurut saya penting untuk dikabarkan.
 
Saya enggak alergi dengan pop, rock, dangdut. Tapi ini lah yang kita punya, bukan didominasi oleh pop saja. Makanya saat ada Anugerah Musik Indonesia itu saya kritik, apa definisi musik Indonesia? Atau mungkin kalian ganti saja dengan Anugerah Musik Pop Indonesia? Karena beberapa kali jumlah cetak album Didi Kempot dengan campur sarinya lebih dari cetaknya Dewa pada waktu itu. Bertengkarlah saya waktu itu, makanya saya bertengkar kenapa Didi Kempot tidak boleh dapat piringan emas?
 
Itulah faktanya yang ada di Indonesia.  Darah kita tuh darah dangdut, dikasih juga pada joget kol. Kalau anak-anak pop itukan malu dengan dangdut, jijik gitu buat denger dangdut, merasa bukan levelnya. Itukan menipu. Dangdut juga salah satu ikon yang kuat. Dandung memberi kontribusi yang kuat. Keroncong juga. Gamelan juga sama. Gamelan sekarang bukan hanya miliknya orang Jawa atau Bali, tapi sudah miliknya dunia. Kurang apa?
 
Dengan jam terbang yang tinggi, apa yang bisa Mas Djaduk tangkap dari perbedaan tampil di dalam dan di luar negeri?
 
Aspek apresiasinya itu tetap, (di luar negeri) menghargai banget yang namanya ruang kreativitas. Apa yang dilahirkan dan aspek kejujuran. Itu memiliki nilai yang sangat tinggi. Ketika kami lahir dari dari musik tradisi ya kita bawa itu walaupun dicampurkan dengan musik dari Barat. Tapi ya itu, tetap terasa semangat musik indonesianya yang sangat beragam.
 
Industri Musik Indonesia di Mata Djaduk Ferianto
Djaduk saat Konser Sasaji Nagari di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki pada 23 Februari 2019 (Foto: Achmad Wildan)
 

Apa yang salah dengan Indonesia, mengapa masyarakat di sini kurang memberi apresiasi untuk musisi/musik Indonesia?
 
Saya kira mengapresiasi, tapi itu perilaku darimana mulainya saya enggak tahu. Tapi kalau memang kita membangun karakter meniru, hasilnya akan begitu. Itulah risiko yang punya karakter selalu terlambat.
 
Apa hal yang membuat kita menjadi terlambat seperti yang Mas Djaduk maksud?
 
Salahsatu temen yang saya kritik dari ranah pop itu terlalu sempit pandangannya karena mereka menyebut musik mereka itu sudah go internasional. Kenapa bangga engga kata “Go”? Toh kita (Indonesia) itu bagian dari internasional.
 
Istilah dalam penjajahan itu inlander. Apa lagi celakanya yang nonton mereka (saat tampil di luar negeri) itu TKI juga kan? Peni Candra Rini contohnya, pesindennya Rahayu Supanggah. Dia salah satu 10 komposer wanita dunia. Dia dihargai di Amerika, Pak Rahayu Supanggah seorang komposer gamelan dari Solo, kolaborasi dengan Kronos dan pemain hebat lainnya. (Musisi industri) yang lain mana? Engga pernah. Ketimpangan itulah sesungguhnya yang dibuat dari industri. Tapi ya sekarang sudah berkurang, pemerintah sudah ngasih ruang, temen-temen juga memberi pemahaman dengan berelasi.
 
Lalu, bagaimana cara yang ideal menurut Mas Djaduk bagi anak muda untuk menghargai musik tradisional/etnik?
 
Ya sebisa mungkin mendengarkan banyak musik-musik yg ada di Indonesia. Bukan hanya yang di industri pop saja.
 

 
(oleh Mardinal Afif)
 

 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(ASA)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan