Diselenggarakan oleh The Resonanz Music Studio (TRMS) dan Jakarta Concert Orchestra (JCO), pertunjukan tahun ini menjadi edisi ke-16 sejak dimulai pada tahun 2010 dan dibawakan bersama Batavia Madrigal Singers (BMS), The Resonanz Children Choir (TRCC), Armonia Choir dan penampilan solo dari Ingrid Patricia, Farman Purnama, Isyana Sarasvati di bawah arahan konduktor Maestro Avip Priatna, Mag. Art.
"Lewat konser ini, kami ingin menghadirkan kembali semangat zaman dari setiap dekade melalui musik. Pemilihan lagu didasarkan pada kekuatan representatifnya terhadap tiap era,” ujar Avip dalam sesi jumpa pers sebelum konser dimulai.
Ia menambahkan bahwa meski perubahan antar dekade tidak selalu drastis, ada warna tersendiri yang membentuk identitas musikal pada masanya. “Ini bukan hanya konser, tapi juga inisiatif untuk menginspirasi musik Indonesia di dekade-dekade berikutnya."
Karen Laurencia dari Batavia Madrigal Singers menjelaskan bahwa persiapan dimulai sejak awal tahun, termasuk diskusi panjang mengenai pemilihan lagu.
"Satu dekade bisa punya 10 lagu penting, tapi hanya beberapa yang bisa dibawakan. Kami pilih lagu-lagu yang bisa mewakili suasana dan semangat setiap masa,” ujarnya.
baca juga:
|
Para penyanyi dan musisi juga mendapat kebebasan aransemen untuk menyampaikan interpretasi segar tanpa menghilangkan ruh lagu aslinya. Penonton diajak menelusuri jejak-jejak musik dan lagu yang membentuk identitas bangsa mulai dari tahun 1945 hingga 2005 untuk sama-sama menikmati bahwa dari setiap masa, ada suara yang tumbuh, bertahan, dan berubah bersama rakyatnya.
Konser dibuka dengan membangkitkan semangat dekade pertama (1945–1955), masa ketika musik nasionalis menjadi penggerak perjuangan bangsa. Medley Lagu Perjuangan, "Berkibarlah Benderaku", dan "Indonesia Pusaka" mengisi babak ini. The Resonanz Children’s Choir (TRCC) tampil mencuri perhatian membawakan "Berkibarlah Benderaku" dengan penuh penghayatan dan energik, menghadirkan momen yang menggemaskan di awal konser.
Perjalanan berlanjut ke dekade kedua (1955–1965), saat Indonesia mulai membangun dan musik perlahan bertransformasi menjadi cerminan keseharian. Tiga Dara membuka dekade ini dengan pembawaan yang ceria dan lincah oleh Maria Sita, Yemima Madeleine, dan Sherina D. Saragih, menangkap semangat era film dan radio yang mulai tampil dan disaksikan. Babak ini juga diwarnai penampilan emosional Bengawan Solo oleh Farman Purnama dan ditutup dengan Nurlela yang menghidupkan suasana panggung lewat trio Wandilat, Abraham, dan Dewabhatara.
Memasuki dekade ketiga (1965–1975), musik menjadi ruang paling jujur di tengah ketegangan politik. Isyana Sarasvati tampil membawakan "Tuhan" bersama BMS dengan penuh khidmat, menghadirkan momen reflektif yang menyentuh.
Sebelumnya, Armonia Choir membuka babak ini lewat Kolam Susu dalam aransemen unik yang segar. Babak ini ditutup dengan penuh semangat oleh vokalis pria BMS lewat Terajana yang sukses mengajak penonton ikut bergoyang.
Di dekade keempat (1975–1985), musik Indonesia bergerak ke arah yang romantis dan personal, seperti halaman buku harian yang penuh emosi dan kejujuran. Babak ini dibuka dengan "Galih dan Ratna", dibawakan penuh perasaan oleh Giri Rizki Riyadi dan Aurel Hutajulu. TRCC, yang tahun lalu menjuarai Tolosa International Choral Contest 2024 (55th Edition) membawakan Medley Titiek Puspa (Menabung, Marilah Kemari, Apanya Dong) dengan penuh keceriaan. Babak ini ditutup dengan "Badai Pasti Berlalu" yang dibawakan oleh Reinata Priskila dan BMS, mengundang sayup-sayup nyanyian dari penonton yang larut dalam nostalgia.
Usai jeda, konser kembali dengan dekade kelima (1985–1995), saat generasi muda mulai bersuara. Pop, rock, dan balada mendominasi ruang dengar. Tua-Tua Keladi dibawakan oleh BMS wanita, disusul Kumpul Bocah yang dibawakan dengan centil dan menggemaskan oleh TRCC. Babak ini ditutup dengan "Selamat Datang Cinta" yang dibawakan penuh semangat festival oleh Alin Pontoh, Alexandra Januarvian, dan BMS.
Memasuki dekade keenam (1995–2005), musik Indonesia mulai lahir dari ruang-ruang kolektif dan independen. Lagu-lagu legendaris seperti "Cerita Cinta", "Cantik", "Setahun Kemarin", dan "Bahasa Kalbu" yang dibawakan BMS membawa penonton bernostalgia. JCO mengiringi penonton berdendang bersama lewat "Sephia", sebelum babak ini ditutup dengan Ada Apa dengan Cinta yang dibawakan oleh Michelle, Alvina, Gemma, Kevin, Defa, Eduard, dan BMS, membangkitkan kenangan akan film ikonik era itu.
Dekade ketujuh (2005–2015) menandai kebangkitan era digital. Musik menjadi bagian dari keseharian seperti "Kasih Putih" yang dibawakan dengan penuh syahdu oleh trio Nobel, Mitchell dan Ery. Kekocakan lagu Indovers dapat dibawakan dengan baik oleh Sere, Rinaldy, Adrian, Bayu dan Edward, dan "Laskar Pelangi" dibawakan dengan apik oleh JCO.
Memasuki dekade terakhir (2015–2025), genre tak lagi menjadi batas. Musik Indonesia hari ini adalah potret dari generasi yang sadar pentingnya berekspresi dan menyuarakan diri lewat karya. Lagu-lagu seperti "Rungkad" (Armonia Choir), "Lathi" (Quinsha Hutasoit dan BMS), "Manusia Kuat" (Farman Purnama), serta kejutan "Selalu Ada di Nadimu", membawa penonton pada semangat zaman hari ini. Babak ini ditutup oleh Isyana Sarasvati dengan "Lexicon" yang dibawakan dengan megah.
Sebagai encore, Isyana dan Farman menutup konser dengan "Berharap Tak Berpisah" yang mengajak penonton turut bernyanyi bersama. Simfoni untuk Bangsa bukan hanya konser tapi merupakan perjalanan lintas generasi, ruang pelestarian, dan suara kolektif yang menjaga agar musik Indonesia tetap hidup, dari masa lalu hingga masa depan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id