Menerjemahkan Hobgoblin bukan hal mudah. Jika secara harfiah nama “Hobgoblin” merujuk pada sebuah makhluk mitologi yang menyeramkan dan angker, setidaknya nuansa itu pula yang hadir di album Hobgoblin.
Marcel Thee, vokalis sekaligus penulis seluruh lagu di album ini memang tidak menampik bahwa nyawa dari album ini lahir dari kegelisahan, kegundahan sekaligus kecemasan. Tiga diksi yang merujuk pada keadaan hati yang tidak tenang. Perasaan itu lantas disambar oleh personel Sajama Cut lainnya, Dion Panlima Reza, Hans Citra Patria (Anes), Randy Apriza Akbar.
“Album ini wujud kita, orang berusia 20-an akhir dan 30-an awal yang hidup di Jakarta dan bermusik. Gue mendengar lelahnya, gundahnya, cemasnya hidup di kota. Bukan tentang kotanya, tapi bagaimana kita menghadapi kota ini,” kata Marcel kepada medcom.id, beberapa waktu lalu.
Kegelisahan yang dirasakan Marcel tentu mewakili perasaan ribuan orang yang hidup di kota besar, terlebih Jakarta. Hidup dengan teror kebutuhan ekonomi, plus situasi sosial yang semrawut, belum lagi bayang-bayang kebahagiaan masa depan yang kian ciut dihardik rutinitas kehidupan kota.
“Kalau menurut gue, intinya album ini menceritakan kecemasan dalam kehidupan, kita semua sudah berkeluarga kecuali Anes, kita sering membahas kecemasan soal masa depan anak kita, soal perekonomian kita masing-masing nantinya,” kata Dion menimpali.
Proses kreatif penggarapan lagu di album ini juga beda. Marcel mencoba menantang diri sendiri untuk menggunakan instrumen yang tidak terlalu dikuasainya, keyboard. Hal ini seperti memancing kreativitas-kreativitas baru dari kepala Marcel dalam menghasilkan lagu.
Soal lirik, seluruh lirik di album ini berbahasa Inggris, Marcel mengaku tidak ada rencana khusus di balik itu. Menurutnya, lagu lahir begitu saja secara organik tanpa ada embel-embel lain, misal ingin membuat pencitraan lewat lirik atau semacamnya.
“Itu natural saja, keluarnya saja bagaimana. Pas dibuat otomatis saja, kalau album pertama dulu saya lebih ke Bahasa Indonesia, ya natural saja. Bukan karena branding, apa yang nyaman saja kita kerjakan,” katanya.

Foto: Sajama Cut
Album yang Sempurna
Bagi personel Sajama Cut secara keseluruhan, album Hobgoblin lebih menggambarkan musikalitas dari tiap-tiap personel. Dion bahkan terang-terangan menyebut album Hobgoblin adalah produk Sajama Cut paling sempurna.
“Gue masuk dari 2007, lalu Randy tahun 2008 dan Anes tahun 2009. Dari pergantian personel ada adaptasinya, album yang sebelumnya (Manimal) enggak sempat untuk eksplorasi musikalitas masing-masing. Seiring berjalannya waktu, kebetulan di album ini enggak ada yang ganti personel. Sebelumnya kan Sajama Cut ganti personel terus. Dan sekarang kita bisa menyesuaikan karakternya,” tutur Dion.
“(Hobgoblin) Ini hasil dari empat kepala, tadinya lima (drummer mereka, Banu Satrio, hengkang jelang album Hobgoblin selesai). Kita main bareng sudah lama,makanya album ini album paling sempurnanya Sajama Cut, setiap personel Sajama Cut dulu keluar di tiap album tapi baru di album ini bisa sama-sama (setidaknya sejak album Manimal),” imbuhnya.
Bertahan lebih dari satu dekade sebagai band tentu bukan hal mudah, terlebih Sajama Cut selalu mengalami bongkar-pasang personel. Marcel Thee, satu-satunya yang bertahan sejak awal lahirnya band ini mengakui bahwa pada akhirnya kedewasaan yang melekatkan hubungan antar personel di tubuh band ini.
Sajama Cut merupakan sedikit dari band-band yang bertahan sejak era kebangkitan musik indie di awal 2000-an. Meski laju mereka cenderung stagnan, tapi Marcel dan kawan-kawan membuktikan ada yang lebih penting dari sekedar popularitas, yaitu konsistensi berkarya.
“Semakin lama kami semakin serius, semua semakin dewasa dengan kehidupannya sendiri-sendiri. Mempertahankan semangat untuk tetap bermusik, meskipun tantangan secara waktu dan jarak bertambah banyak, tapi kami tetap mempertahankan semangat bermusik itu dengan persoalan teknis hidup di Jakarta,” kata Marcel.
Para personel Sajama Cut memang tidak sepenuhnya bekerja sebagai musisi. Marcel merupakan jurnalis yang juga disibukkan dengan berbagai proyek musiknya di luar Sajama Cut, sedangkan Dion adalah karyawan di perusahaan yang bergerak di bidang otomotif, Anes tercatat sebagai karyawan di perusahaan yang bergerak di bidang jasa telekomunikasi dan Randy memiliki usaha di bidang jasa kreatif.
Tentu dengan kesibukkan masing-masing personel, kebersamaan jadi mahal harganya bagi Sajama Cut. Toh mereka membuktikan bisa melewati tantangan itu hingga lahir album Hobgoblin.
Anes juga menceritakan bahwa kesibukkan masing-masing personel membuat mereka harus melakukan take rekaman masing-masing, di waktu yang berbeda-beda. Mereka yang bekerja dengan jam kantor bahkan harus meluangkan waktu beristirahat di malam hari dengan masuk studio.

Foto: Sajama Cut
Kolaborasi Lintas Negara
Hobgoblin tidak dilahirkan dengan polos sebagai produk musik, Sajama Cut membalutnya dengan estetika-estetika lain, termasuk melibatkan musisi dan seniman internasional. Proses pembuatan grafis dalam rilisan fisik Hobgoblin cukup alot, kurang lebih memakan waktu sampai dua tahun.
Akhirnya, terpilih tiga karya seniman internasional, Eric Krueger, untuk sampul Hobgoblin versi cakram padat, kaset dan piringan hitam.
“Lebih ke titik puas, kalau lo punya album bagus cover-nya jelek sayang. Bahkan ada musik jelek cover bagus juga tetap dibeli, jadi cover itu penting,” kata Marcel.
Selain melibatkan Krueger dari Amerika Serikat, Sajama Cut juga menggandeng musisi yang berdomisili di Jepang, Will Long. Marcel menceritakan bahwa dirinya sudah cukup lama menjalin relasi dengan Long, terlebih dalam membahas proyek-proyek Marcel lainnya, Strange Mountain. Korespondensi lewat dunia maya nampaknya berbuah kolaborasi yang manis.
“Gue suka intronya Recollecting Instances karena itu yang bikin salah satu musisi ambience favorit gue, Will Long, musisi Amerika yang pindah ke Jepang. Mungkin salah satu musisi ambience paling top di dunia.”
Dengan lahirnya album ini, Sajama Cut memperpanjang napas mereka sebagai sebuah band yang diperhitungkan secara musikalitas. Kedewasaan bukan hanya membawa pada kebijaksanaan, tetapi juga kecemasan-kecemasan yang baru.
Mengutip apa yang Sajama Cut tulis dalam situs resmi mereka, “Hobgoblin adalah selamanya”. Album keempat yang lahir dari kegundahan ini memang sebuah potret sekaligus perenungan tentang hidup di tengah ketakutan-ketakutan yang mencekam. Menyiratkan kedigdayaan jiwa melawan dogma-dogma yang justru menggempur nurani.

Foto: Art cover album Hobgoblin, Sajama Cut
Kisah di Balik Lagu dalam Album Sajama Cut, Hobgoblin
Karya musik idealnya tidak lahir begitu saja tanpa gagasan. Meski tiap lagu bisa ditafsirkan berbeda-beda oleh pendengarnya, sang empunya lagu memiliki kisah tersendiri dari karya yang dilahirkannya. Begitu juga dengan Marcel Thee, sosok yang menggarap keseluruhan materi lagu Sajama Cut di album Hobgoblin.
Dalam perbincangannya dengan Metrotvnews.com beberapa waktu lalu, Marcel menuturkan hal-hal yang ada di balik lagu-lagu dalam album terbaru dari band yang ikut membesarkan ranah musik independen Indonesia itu.
1. History of Witches
“Lagu yang memang dibuat untuk intro, biasanya kalau gue membuat album ada bayangan lagu pertama dan terakhir. Dan lagu ini memang dibuat untuk mengarah ke lagu pertama.”
2. Bloodsport
“Gue mau nge-buat lagu dengan beat post-punk, tensinya dipertahankan terus. Gue jarang bikin lagu tentang ini atau tentang itu, lagu buat gue bukan produk, interpretasi personal itu lebih penting.”
“Kalau dari lirik menceritakan kehidupan beragama, gimana perang atas nama agama membuat orang berdarah-darah sampai di titik konyol.”
3. The German Abstract
“German abstract itu sulit dijelaskan, sesuatu yang rumit sekali. Secara lirik paling mudah diungkapkan tapi paling susah diterima orang.”
“Salah satu lagu yang secara lirik paling ada poin yang mau gue buat. Setiap album ada satu atau dua lagu yang liriknya harfiah. Tapi gue pada dasarnya bukan tipe penulis lagu yang suka seperti itu.”
4. Curtain For Euro
“Bicara idealisme di dunia yang mementingkan kesuksesan moneter.”
5. Beheadings
“Lagu instrumen pertama, gue ngelihat Pink Floyd era pertengahan, album Animals. Gue suruh Dion (gitaris Sajama Cut) bermain seperti David Gilmour, kalau enggak salah si Randy (basssit Sajama Cut) main dua bass, satu di (nada) rendah, satu di tinggi.”
6. Dinner Companion
“Lagu yang liriknya gue mendokumentasikan hubungan internal band yang enggak mudah. Band adalah satu keluarga yang dipaksakan secara positif, punya goal yang sama tapi bukan organik atau biologis. Kadang membina hubungan itu butuh usaha, meski sedang enggak mood.”
7. Fatamorgana
“Lagu favorit yang pernah gue buat. Lagunya tentang mempertahankan integritas, kewarasan dan moralitas di dunia yang lo dengar orang-orang pada bilang, “Lo udah gede tuh gini, lo udah dewasa, this is the real world man.” Lagu ini semacam alternate universe di mana orang itu terbukti salah, kalau di dunia ini kan mereka agak terbukti benar.”
8. House of Pale Actresses
“Lagu ini yang terinspirasi dari lagu-lagu instrumental background korporat di Jepang dan di Amerika, lagu ambience yang biasa diperdengarkan di mal dan di korporat. Lagu nuansa. Lebih setting lagu-lagu ambience di Jepang dan Amerika tahun 1980-an.”
9. Recollecting Instances
“Ini lagu yang cukup eksplisit tentang anak istri gue, gue suka intronya karena itu yang bikin salah satu musisi ambience favorit gue, Will Long, musisi Amerika yang pindah ke Jepang. Mungkin salah satu musisi ambience paling top di dunia. Gue sudah lama korespondensi dengan dia, tukar materi. Awalnya nanya-nanya alat, dia alatnya gila-gila, organik banget pakai pita sampai sekarang rekamannya.”
10. Compassion
“Ini lebih ke sinematis, sound-nya kalau enggak salah tadinya main di keyboard lalu gue rekam ulang ke kaset pakai alat perekam kaset zaman dulu yang untuk penulis, baru gue balikin lagi ke komputer. Gue emang suka biar soundnya lebih organik. Gue enggak suka sound yang terdengar semua not sempurna.”
11. Rest Your Head On The Day
“Ini menceritakan perjalanan panjang setelah melewati hari yang melelahkan di Jakarta dan akhirnya kembali ke rumah.”
“Endingnya yang buat Ken Jenie dari Jirapah, kalau enggak salah gue pengin simfoni gitar ada tiga sampai empat layer, lagu ini memang dibuat untuk penutup. Kalau didengerin, lagunya kayak mau habis tapi ada lagi. Seperti History of Withces yang dibuat khusus untuk pembuka, lagu ini memang untuk lagu terakhir.”
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id