Tepat pukul 19:00 WIB kami bertemu. Seperti penampilan-penampilan Adrian di tempat umum, gitaris blues itu mengenakan sepatu kasual, denim washed berwarna biru potongan straight dipadu kaus polos warna hitam. Gaya Adrian biasanya semakin liar bila sudah naik ke panggung. Dia selalu mengenakan kaus kutang putih yang memperlihatkan tato di lengannya. Tetapi, kafe tempat kami bertemu terlalu kalem untuk aksi liar Adrian.
Kami beruntung bisa menyaksikan Adrian dalam sebuah penampilan sederhana tanpa penonton yang berjubel. Dia dijadwalkan tampil pukul 21:00 WIB, itu berarti ada waktu sekitar dua jam untuk mengupas habis siapa sosok Adrian sebenarnya.
“Tolong buatkan ginger,” kata Adrian kepada pelayan kafe. “Maaf saya sedang tidak enak badan,” jelas Adrian kepada kami.
Broti, tempat kami berkumpul memiliki interior klasik. Sebuah gramofon terpajang di sudut ruangan. Kursi dan meja kayu dengan gaya Jawa menghiasi ruangan berbentuk persegi panjang dengan penerangan yang remang. “Saya hampir setiap hari ke tempat ini, dari pagi sampai malam,” terang Adrian.
Ada kejadian menarik soal Adrian dan kafe itu. Pemilik kafe awalnya heran dengan sosok pria yang selalu datang hampir setiap hari ke tempatnya. Sampai pada suatu ketika, seorang pelanggan menceletuk, “Itu kan Adrian, musisi blues.”
Karena celetukan itulah sang pemilik kafe akhirnya mencari sosok pria paruh baya yang nongkrong terus di kafenya itu lewat mesin pencari Google.

Foto: Adrian Adioetomo / Koleksi Pribadi
Sang pemilik kafe terpukau ketika mendapati video permainan Adrian di internet. Ia lantas memberanikan diri untuk berkenalan dan meminang Adrian untuk tampil mengisi sesi live-music di kafe miliknya.
Kembali ke pertemuan kami dengan Adrian, membicarakan blues dengannya di lokasi bernuansa klasik seolah memutar waktu jauh ke belakang. Kami membuka pembicaraan tentang sejarah delta blues, musik yang identik dengan permainan Adrian.
“Blues awalnya lebih kayak seni rakyat dari kaum budak keturunan Afrika yang dahulu dipekerjakan di selatan Amerika (Serikat), sekitar Missisipi, New Orleans. Jadi awalnya dari senandung yang mereka nyanyikan saat mereka kerja, saat di kebun kapas atau bahkan di penjara. Dulu ada istilahnya chain-gank, mereka yang dipekerjakan untuk memecahkan batu dan kerja membangun jalan."
"Awalnya dari situ, mereka main sendiri di rumah sambil cerita. Bayangkan saja mereka hidup sebagai budak dan enggak tahu budaya asal-usul mereka dan mereka enggak diberi pendidikan. Mereka disuruh kerja dengan upah yang sangat kecil, susah banget hidupnya. Tradisi ini berlanjut sampai akhirnya jadi satu jenis aliran musik. Akhirnya menjadi tangga nada dan art-form tersendiri,” urai Adrian.
Dalam perkembangannya, senandung para budak itu diiringi instrumen gitar yang lantas berkembang sebagai cikal-bakal delta blues.
Adrian sendiri cukup mengeksplorasi berbagai jenis musik sebelum akhirnya berlabuh di musik blues. Sewaktu remaja, dia sempat membentuk band dengan teman-teman sekitar rumahnya. Musik yang dimainkan adalah punk. Berlanjut di SMA, Adrian yang bersekolah di SMA Tirta Marta, Jakarta Selatan membentuk band metal dengan teman-temannya.
Adrian hanya menjalani masa SMA di Jakarta selama dua tahun. Pada 1989, dia hijrah ke Australia, ikut ibunya yang akan menempuh studi S3 di Australian National University di Canberra.
Tinggal di negeri orang dengan pergaulan baru dan suasana baru ternyata berperan dalam pengembangan wawasan musik Adrian. “Dulu tinggal di pinggiran kota, suasananya kayak ada padang pasir, kota kecil, cocok banget lah sama (musik) blues,” ujar Adrian sambil tertawa.
Adrian tinggal di Australia sampai menyelesaikan studi sarjana di bidang desain grafis. Dia menyandang gelar sarjana dari University of Western Sydney.

Foto: Adrian di Broti Cafe / Metrotvnews.com / Agustinus Shindu Alpito
Terlambat Jadi Musisi
Sepulangnya dari Australia, Adrian mencoba mengaplikasikan ilmunya di bidang rancang grafis. “Karena gue kuliahnya desain grafis, gue berpikir bisa kerja sambil main musik. Terus pacaran dan mau nikah, pekerjaannya dulu gue seriusin tapi enggak betah. Enggak betah kerja untuk klien, setelah keluar masuk di lima kantor yang berbeda, ada yang di Bali juga, terus gue berpikir, 'Gue enggak bisa kerja kantor, gue enggak betah dengan politik kantor.' Pekerjaannya gue enggak masalah, ketika kuliah gue diajarkan menggali potensi gue, ketika gue kerja (potensi) itu ‘dibunuh’ habis-habisan,” katanya serius.
Jika musisi membangun karier di usia belasan tahun, Adrian terbilang cukup terlambat. Dia memutar haluan hidup jadi musisi saat usianya sudah kepala tiga. Dengan tekad bulat ia tinggalkan dunia kantor dan menjalani kehidupan sebagai seorang musisi. Tidak disangka, berawal dari iseng tampil di kafe, kini Adrian telah bertransformasi jadi macan panggung!
“Gue sempat manggung iseng-iseng di kafe ekspatriat di Star Deli (kawasan Kemang, Jakarta Selatan), dulu gue ngisi sesi break-nya Gugun (saat ini Gugun dikenal sebagai anggota Gugun Blues Shelter). Basic permainan gue delta blues. Gue di Star Deli iseng main akustik sendirian, karena kafe itu yang datang bule, mereka tertarik. Mereka mendengarkan sesuatu yang sudah lama tidak mereka dengar,” ujar Adrian.
Apresiasi itu lantas menumbuhkan kepercayaan diri Adrian. Dia lantas merekam tiap penampilannya di kafe, dan merekamnya dalam media CD. Lewat CD yang dibuatnya sendiri itu dia memperkenalkan diri, sebagai bluesman asal Indonesia.
Dengan gitar resonator, panggung demi panggung ditaklukkan Adrian, tak peduli apakah itu kafe kecil dengan penonton sejumlah hitungan jari, atau panggung besar dengan tata lampu ekstravaganza.
Adrian baru benar-benar merilis album studio pertamanya pada 2007. Album itu dia beri nama Delta Indonesia. Delta blues semakin jadi identitas Adrian dalam kurun lebih dari 15 tahun terakhir. Jenis musik itu juga dia tuangkan dalam album ke-dua yang dikemas dalam format album ganda bernama Karat dan Arang. Dalam album itu, Adrian mencoba menulis lagu dengan perspektif hidup di era tahun 1930-an, termasuk soal lirik.
“Gue seorang musisi yang main gitar sambil nyanyi, tapi apakah selamanya gue mau dicap sebagai delta bluesman? Karena kalau akhirnya gue begitu gue harus memainkan musik yang sama bertahun-tahun dan gue enggak tahu apakah akan progresif atau enggak. Gue enggak mau dari album ke album musiknya itu-itu terus. "
"Buat gue sebetulnya, yang gue rasakan, blues itu ekspresinya. Bukan lo pake gitar apa, topi koboi, sepatu koboi. Meskipun basic gue itu, gue enggak pengin terikat di klise yang sama,” kata Adrian saat disinggung akan masa depan musiknya.
Tidak ingin hanya terpaku pada blues, Adrian pun menjajal beberapa proyek musik lain. Seperti Raksasa yang mengusung rock dan Citizen Useless yang fokus ke musik punk.
Raksasa awalnya terbentuk untuk mengisi acara Kick Andy yang ditayangkan Metro TV. Band itu terdiri dari beberapa personel yang tentu sudah tidak asing lagi, di antaranyai Franki Indrasmoro atau dikenal dengan panggilan Pepeng (drummer Naif), Adi Cumi (Fable), Iman Fattah putra musisi Donny Fattah sekaligus personel Zeke and The Popo dan juga Adhi Tomo.
“Gue heran, Raksasa itu otomatis ngalir saja, Pepeng dari dulu bersemangat jalanin Raksasa. Kirain sudah enggak aktif, tapi dia ngajak jalanin lagi. Kita kalau bikin lagu, anehnya ngalir saja padahal basic-nya beda-beda, tapi pada dasarnya semua suka rock. Mungkin karena kalau kami latihan pikiran kami terbuka,” kisah Adrian.

Blues yang Identik dengan Peliknya Hidup
Blues lahir dari kegelisahan, dari tangisan jiwa-jiwa yang terkucilkan. Luapan dari mereka yang dianggap sebagai batu penjuru itu perlahan terdengar lewat jeritan gitar atau lirik yang menceritakan kehidupan.
Masuk ke pembahasan ini, Adrian sedikit membeberkan tentang kehidupannya. Meski yang mendengar cerita Adrian harus meraba-raba apa yang sebenarnya dialami.
“Gue juga enggak tahu kenapa suka musik yang ‘miring’ dan hal yang ngaco. Gue merasa terindentifikasi dengan hal itu, mungkin pengalaman neurosis dengan masa lalu dan gue enggak pengin ngomongin hal-hal pribadi seperti itu. Tapi secara enggak langsung membentuk gue seperti ini yang berpikir dan merasakan hal yang berbeda dari orang-orang lazimnya."
"Gue enggak ngerti ada energi itu, kenapa gue hampir selalu mengambil keputusan dari hidup gue itu dari energi itu. Mungkin bukan sesuatu yang baik atau sehat,” terang pria kelahiran Balikpapan, Maret 1973 itu.
Dicap sebagai sosok aneh bukan hal baru bagi Adrian. Dia kerap menerima pernyataan itu dari teman-temannya, sejak dahulu.

Foto: Adrian Adioetomo / Adi Wirantoko
“Banyak teman gue yang bilang gue orang aneh, karena gue bukan gila tapi gue aneh. Keputusan hidup gue belakangan juga enggak seperti orang normal, tetapi gue jalankan dan gue terusin. Secara natural ini yang gue mau jalanin,” lagi-lagi Adrian menjelaskan suatu hal yang menjadikan lawan bicaranya menebak apa yang sebenarnya terjadi.
Lepas dari persoalan yang dia hadapi, Adrian ingin mentransformasikan pengalaman hidupnya itu dalam sebuah karya. Nantinya karya itu akan dijadikan kelanjutan dari album Karat dan Arang.
“Selanjutnya gue mencoba menuangkan seberapa tulus pengalaman gue ke sebuah lagu. Gue enggak bereksperimen kalau enggak perlu, gue udah bereksperimen dengan kehidupan gue dalam satu tahun terakhir. Gue mau bikin album yang simpelnya terjemahan kehidupan gue. Kalau materi sudah terkumpul sebelum puasa, penginnya pas bulan puasa rekaman,” beber Adrian.
Tensi obrolan kami menurun, sayup-sayup terdengar lirik “Apa yang membuat engkau ragu, tujuan sejati menunggumu sudah, tetaplah pada pendirian semula,” dari pengeras suara dalam kafe. Sesaat tersadar bahwa lagu berjudul Pemuda yang dibawakan grup lawas Chaseiro itu seolah jadi penutup perbincangan kami.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News