“A Short Film by Elephant Kind,” tertulis di poster digital dengan gambar seperti story board untuk film. Ketika saya mengunduh dan menyimak lagu demi lagu, pikiran melintas ke beberapa nama band internasional yang sudah cukup akrab bagi penikmat musik Indonesia. Tapi, ini band Indonesia.
Lebih lanjut, pikiran sampai ke satu titik, bahwa Elephant Kind adalah satu dari sekian band potensial yang bukan tidak mungkin membawa sesuatu yang benar-benar baru untuk dunia musik Indonesia. Rasanya tidak berlebihan merasakan hal itu setelah menyimak album mini mereka yang berjudul Scenarios.

Foto: Scenarios / Elephant Kind
Berawal dari Bam Mastro, pemuda berusia 23 tahun yang sangat tertarik dengan bidang seni dan kultur. Bam yang lahir dan besar di lingkungan global, mencicipi pergaulan yang luas. Dia lahir di Amerika Serikat, bersekolah di beberapa negara, diantaranya Cina, Taiwan dan Australia. Bam hanya mengecap pendidikan Indonesia sewaktu di Sekolah Dasar.
Sepulangnya dari studi seni di Western Australian Academy of Performing Art, Bam bertemu dengan John Paul Patton (bassist), Adisapoetra Bayu (drummer) dan Dewa Pratama (keyboardist, gitaris). Ketiga orang itu lebih dulu membantu proyek musik kakak kandung Bam, Neonomora.
Secara natural, muncul gagasan untuk membentuk sebuah band ketika mereka sedang berkumpul. Baik Bam, John atau dikenal dengan panggilan Coki (27), Bayu (25) dan Dewa (27), sebelumnya sudah aktif bermusik dengan aliran yang berbeda-beda.
Bayu sebelumnya dikenal bermain untuk band emo No Talent dan 2 Step North, sedangkan Coki sudah cukup dikenal melalui Kelompok Penerbang Roket. Bam sendiri sudah menjajal panggung Australia dengan band SaySky dan Dewa sempat memiliki proyek musik elektronika bernama Zig Zag Love.
“Yang menyatukan (Elephant Kind) bukan jenis musik kita, karena jenis musik kita (awalnya) beda-beda. Yang menyatukan kita adalah visi-misi kita yang sama. Kita pengin represent Indonesia as an artist. The true ambassador are the young artist, bukan pemerintah. Indonesia yang kita mau tunjukin adalah Indonesia itu friendly. Karena pengalaman gue di luar (negeri) sebagai orang Asia dan Indonesia jadi minoritas,” kata Bam.
Singkatnya, empat anak muda ini memutuskan untuk membentuk sebuah grup musik yang punya konsep secara musik, citra, fashion, sikap dan pendirian. Lahirlah Elephant Kind.
“Waktu itu pas lagi bikin research enggak sengaja buka Twitter, dan ada fakta legit tentang elephant bahwa gajah itu bisa mati karena patah hati dan gue merasa relateable dengan manusia. Gue pengin nunjukin ke orang-orang yang punya low self esteem dan naikin self esteem-nya mereka lewat musik. Karena di lagu pertama (Elephant Kind) ada kata-kata yang menunjukkan lo bangun diri sendiri dan jangan mau dijatuhin orang dan the only hope that you have is yourself,” urai Bam.
Kemudian Elephant Kind melepas singel Be Somebody sebagai bentuk perkenalan resmi mereka. Tidak butuh waktu lama, mereka lantas melepas sebuah mini album Scenarios pada bulan Oktober. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, album mini itu berkonsep film tanpa visual.
.jpg)
Foto: Elephant Kind / Facebook
Album Mini dan Kepedihan yang Riang
“Julian Day was in his late 20’s when he took his own life. This is how the end of his story begins,” seperti tertulis pada bagian belakang Scenarios. Mini album yang menggabungkan lagu dengan penggalan narasi ini memang mengusung tema “bunuh diri” sebagai kisah utama. Tetapi bagaimana cara Elephant Kind menerjemahkan bunuh diri itu sendiri yang menarik.
Hampir semua lagu di album Scenarios memiliki irama yang riang dengan lirik yang positif. Hanya pada lagu Downhill suasana sedikit muram dengan ucapan “downhill” yang repetitif.
“Gue ngelihatnya karena lebih ke full of hope. Lo enggak tahu di balik senyuman orang-orang di sekitar lo ada sakit yang dalam. Gue enggak bermaksud mengenalkan bunuh diri itu fun, tapi gue ngasih tahu ke orang-orang yang pengin bunuh diri bahwa, ‘Hey there is hope,’ Kalau lo enggak bunuh diri pun semua gonna be ok, lo cuma stuck in the moment,” kata Bam.
Setelah konsep matang, Bam menyerahkan materi-materi yang dimilikinya untuk dimasak bersama dengan personel lain. Maka, jadilah Scenarios dengan aransemen yang terbilang unik untuk sebuah band Indonesia.
“Semua rata-rata groundworks-nya gue, tapi gue kasih ke Coki (buat Scenario II), tapi untuk ke depannya untuk dua materi album ke depan kita buat bareng-bareng, siapa saja yang punya konsep buat band ini selama enggak ke luar konsep awal silakan. Lirik Scenarios semua dari gue, tentang semua
Setelah Scenarios terbilang sukses memperkenalkan siapa Elephant Kind, mereka tidak lantas terburu-buru menggarap album penuh. Elephant Kind masih akan membuat satu album mini lagi yang akan rilis tahun ini.
Album mini kedua itu akan diberi judul Promenades, hal ini bertalian dengan lagu terakhir dalam Scenarios, Onto “Promenades.”
“Gue suka banget dengan kosep kita kayak gini. Konsep film atau visual ini, gue merasa terpuaskan. Kita bikin double EP karena buat kelanjutannya Scenarios. Untuk menyambung dan untuk menunjukkan kalau next Elephant Kind bakal kayak gini musiknya dan kita mikirnya kita pengin menunjukkan growing prosesnya. Modern artist itu grow dan kita pengin tumbuh terus. Kita enggak mau hidup kita sama, main musik yang sama terus sepanjang hidup,” kata Bam.
.jpg)
Foto: Elephant Kind / Facebook
Menjawab Masa Depan
Hampir seluruh personel Elephant Kind adalah sosok musisi instrumentalis. Sesekali Coki bermain drum dan Bayu memainkan bass. Elephant Kind menerapkan sistem yang cukup demokratis dengan memberi ruang pada masing-masing personel untuk memberi masukan gaya permainan lintas instrumen.
Dewa yang pada awalnya didaulat karena kemampuannya mengulik keyboard dan synthesizer pun juga mengisi posisi gitaris. Dengan kemampuan musik yang mumpuni, tentu bukan halangan bagi Elephant Kind meramu irama sesuai yang ada di benak mereka.
“Gue dari TK setiap hari ada musik terus di rumah dan itu bikin suka mukul-mukul meja. Habis itu dibeliin gitar atau drum-drum kecil. Dan SD mulai belajar (memainkan alat musik). Main bass lagunya Gigi, terus pertama kali manggung waktu SMA jadi drummer cover semua lagu Nirvana, terus juga Netral. Pas SMA kelas 2 enggak fokus sekolah, ya udah akhirnya gue fokus ke musik saja,” kata Coki yang akhirnya memutuskan tidak meneruskan studi dan hidup untuk musik.

Foto: Elephant Kind / Facebook
Sedangkan Bayu, memiliki pengalaman yang cukup langka. Dia sempat mengiringi Fariz RM selama beberapa bulan. Hal itu bermula ketika Fariz tertarik saat melihat permainan drum Bayu sewaktu ada pentas seni tingkat SMA.
Perkenalan dengan musik dari usia sangat muda juga terjadi pada Dewa dan Bam. Dewa mulai belajar gitar sejak SD, sedangkan Bam yang sangat terpengaruh dengan hip-hop sudah menikmati Michael Jackson di usia 10 tahun.
“Dulu (remaja) gue dibeliin recorder dan habis itu lebih belajar ke produce music,” kata Bam yang kini juga bertindak sebagai produser untuk band Matter Halo.
Dengan bekal kemampuan, referensi yang luas dan juga strategi jitu, Elephant Kind seolah punya ambisi yang tinggi. Lebih dari sekedar bermusik.
“Buat set goal, kita pengin jadi nomor satu. Tapi kita di sini enggak merasa berkompetisi. Ini healthy menurut gue, gue enggak cari musuh, enggak saling menjatuhkan. Tiap kita ngelihat ada band yang keren, kita balik ke studio dan merasa kita harus bikin lebih bagus lagi. Ini memacu kita, bukan menjatuhkan band lain. Membawa aura positif juga di internal band,” tegas Bam.
Dengan strategi yang matang, konsep solid serta kemampuan bermusik yang baik, bukan mustahil bila Elephant Kind menerjemahkan “nomor satu” sebagai keberhasilan menembus pengakuan bahwa mereka bukan sekedar pemuda hura-hura berkedok anak band. Sekaligus jadi idola baru dengan karier musik yang tidak terbatas pada panggung-panggung dalam negeri saja.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id