Muhammad E Fuady, pakar komunikasi asal Universitas Islam Bandung (Unisba) meriset jangkauan konten-konten LGBT terhadap anak, dan juga jangkauan komunikasi topik terkait LGBT dalam media sosial.
“Puluhan ribu akun yang terlibat pembicaraan LGBT itu mendapatkan ratusan juta reach. Bisa dibayangkan, itu adalah jumlah yang fantastis, ada ratusan juta pasang mata yang melihat pembicaraan tersebut,” tutur pakar komunikasi Universitas Islam Bandung (Unisba) Muhammad E Fuady.
Sebaran konten-konten LGBT itu menurut Muhammad E Fuady sudah masuk ke ruang keluarga. Baik secara langsung lewat konten film, tayangan televisi, komik, maupun percakapan di media sosial yang dapat dijangkau anak-anak.
“Tema LGBT ini, tanpa disadari berbagai pihak, sebenarnya sudah masuk ke ruang keluarga. Isu ini hadir melalui berbagai tayangan televisi, film, termasuk komik yang banyak diakses oleh anak-anak dan remaja,” imbuhnya.
Fuady mencontohkan anak-anak di SD saat ini dapat mengakses manga atau komik Jepang, Manhwa (Korea), dan Manhua (China) yang memiliki tema percintaan sesama jenis, antar laki-laki atau perempuan. Komik bergenre Boys Love (Yaoi) dan Girls Love (Yuri) ini menggambarkan romansa secara halus sehingga tanpa disadari melekat nilai-nilai yang terdapat komik tersebut.
“Ini temuan riil di lapangan. Anak-anak SD rentan menduplikasi bacaannya sehari-hari. Tak heran, selain membaca komik bergenre boys lover, mereka juga menggambar beberapa halaman komik dengan tema yang sama. Kreatif dalam membuat komik namun kontennya meresahkan, tak sesuai dengan norma dan agama. Media yang diakses dan dibuat anak SD tersebut tak diketahui orang tua dan guru.”
Selain itu, film superhero yang dianggap orang tua aman untuk dikonsumsi anak, sebenarnya berpotensi dalam mempengaruhi pola pikir anak terhadap LGBT karena film superhero ada yang mengkampanyekan LGBT.
“Misalnya film seri Flash, superhero cowok berpacaran dengan cowok. Film seri Supergirl, kakaknya yang perempuan pacaran dengan sesama perempuan. “
Dalam hal ini, diperlukan peran dari orang tua untuk memilah konten-konten yang akan dikonsumsi anak-anak.
“Orang tua perlu berkomunikasi dan menanamkan nilai-nilai agama kepada anak di rumah agar anak memahami pergaulan yang baik dalam agamanya. Orang tua harus memperhatikan perkembangan anak dalam pergaulan dan akses medianya. Membatasi dan mengawasi konten yang dikonsumsi anak bukanlah sesuatu yang buruk, apalagi melanggar hak asasinya.”
Guru di sekolah juga perlu mengetahui perkembangan anak didiknya di sekolah. Kegiatan media literasi dan konseling di sekolah dibutuhkan oleh orang tua murid dan siswa.
“Mereka ditengarai memiliki orientasi dan pergaulan yang berbeda tidak boleh diabaikan apalagi didiskriminasi. Setidaknya dibutuhkan pendekatan yang tepat untuk mengarahkan mereka pada hal-hal yang baik,” tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News