Film drama musikal itu dijagokan menjadi pesaing kuat peraih Oscar edisi ke-89 yang nomine resminya baru akan diumumkan pada 24 Januari mendatang. Bahkan film ini masuk 11 nominasi British Academy Film Awards (BAFTA), termasuk best movie.
Tema seputar jazz dalam La La Land masih menonjol meski tidak sesentral pada Whiplash. Los Angeles (LA) dipilih sebagai pemilihan latar belakang lokasi.
Alkisah, Sebastian (Ryan Gosling) dan Mia (Emma Stone) hidup memperjuangkan mimpi mereka di kota hiburan tempat para selebritas besar meraih kesuksesan. Mia yang bercita-cita menjadi aktris kondang rela pindah dari kampung halaman dan bekerja sebagai barista di kedai kopi di kompleks studio film di LA. Bertahun-tahun dia setia mencoba peruntungan melalui audisi, tapi tak sekali pun berbuah manis.
Sebastian, pianis jazz berprinsip tak mau menyelewengkan musiknya hanya demi tren pasar. Dia menetapkan batas mana yang merupakan jazz murni dan bukan. Saat itu banyak kelab jazz tutup dan generasi penikmat baru redup. Walhasil, ia terpinggirkan. Dia membiayai hidupnya sebagai penampil di restoran dan pesta koktail yang memainkan lagu Natal dan pop. Mimpinya memiliki kelab sendiri agar bisa bebas bermusik sesuai dengan hasratnya.
Perjalanan dan romantisme dua pemimpi itu yang menjadi inti cerita. Dua tokoh terlibat cinta dan berjuang mewujudkan mimpi masing-masing.
Keriangan dansa, termasuk tari tap dapat dinikmati penonton. Ditambah pula pemandangan kota beraneka warna yang menyegarkan mata. Tak ketinggalan juga selingan humor ringan dan adegan menari sambil melayang yang terkesan surealis.
Sepintas, skenario seperti itu terasa sederhana dan terkesan klise. Namun di balik itu, penokohan dalam film sebenarnya memuat kontradiksi yang provokatif. Sebastian dan Mia terjebak antara keinginan menjalin cinta dan mengejar ambisi pribadi. Sebastian terombang-ambing antara mempertahankan jazz yang ia anggap murni atau berkompromi mencampurkan musik seperti yang dilakukan Keith (John Legend). Pada akhirnya, tarik-menarik keinginan itu tak terdamaikan.
Sisi kontradiksi dan hasrat menggapai kesuksesan pribadi seperti itu seolah terinspirasi oleh Whiplash. Namun, naskah La La Land justru ditulis pada 2010, sebelum Chazelle mengerjakan Whiplash. Kesuksesan Whiplash mempermudah sutradara yang pernah bercita-cita menjadi musikus jazz itu untuk mendapatkan investor dan studio.
Fantasi
Latar waktu film sebenarnya tidak tegas. Fesyen yang digunakan bergaya vintage dan periode jazz yang ditampilkan layaknya pada 1960-an. Namun, muncul ponsel Iphone dan mobil Toyota Prius yang baru eksis pada 2000-an.
Keunikan-keunikan itu membuat latar film cenderung bersifat fantasi antara masa lampau dan masa kini. Toh, Chazelle konsisten dengan tidak terang-terangan menyebutkan latar waktu.
Secara chemistry Gosling dan Stone mempertontonkan kedekatan yang intim dan matang. Meski kualitas akting tari keduanya dianggap belum sampai melebihi kaliber duet pada film musikal besar terdahulu, La La Land tetap mendapat pujian menandai kembalinya genre layar lebar yang sudah merosot itu.
Kombinasi apik antara skenario, sinematografi, serta musik orisinalnya menjadikan film yang sudah meraup USD132 juta (sekitar Rp1,8 triliun) itu diunggulkan menjadi salah satu kandidat terbaik Oscar. Tujuh piala Golden Globe sudah diraih, di antaranya kategori drama-komedi terbaik, sutradara terbaik, serta aktor dan aktris terbaik.
Yang berhasil juara di Golden Globe kerap dikaitkan dengan Oscar. Menurut perhitungan Flavorwire.com, pemenang film terbaik pada Golden Globe berpeluang 50 persen memenangi Oscar. Peluang 40 persen berlaku untuk sutradara terbaik dan 90 persen untuk aktor serta aktris terbaik.
Namun, patut dicatat skala suara yang diperhitungkan pada kedua ajang itu berbeda jauh dengan perbandingan 90:7.000 pemilik suara. (Dhika Kusuma Winata/Media Indonesia)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News