Everything Everywhere All At Once (Foto: imdb)
Everything Everywhere All At Once (Foto: imdb)

4 Alasan Everything Everywhere All at Once Layak Menang Telak di Oscar 2023

Medcom • 15 Maret 2023 08:55
Jakarta: Bagi yang belum menonton film Everything Everywhere All at Once (EEAaO) mungkin akan bertanya-tanya, apa yang membuat film ini layak menang telak di Oscar 2023? Memangnya film ini sebagus apa sampai bisa membawa pulang tujuh piala Oscar?
 
Menurut kami, setidaknya ada empat alasan kuat tentang mengapa EEAaO layak menang telak di Oscar 2023. Keempat poin itu mencakup konsep cerita, sinematografi, desain karakter, serta performa akting. Sebelum ke situ, coba simak dulu sinopsis Everything Everywhere All at Once berikut.

Sinopsis Everything Everywhere All at Once

Film ini bercerita tentang Evelyn Wang (Michelle Yeoh) yang merupakan perempuan imigran asal China yang tinggal di Amerika bersama keluarganya. Ia dan suaminya, Waymond Wang (Ke Huy Quan), menjalankan bisnis laundry.
 
Dalam suatu hari, Evelyn dihadapkan dengan masalah hidup yang menumpuk secara sekaligus. Dalam perjalanannya bersama Waymond ke kantor pajak untuk mengurus pajak bisnisnya, Waymond tiba-tiba dirasuki oleh Alpha Waymond, sosok Waymond yang berasal dari semesta lain bernama Alphaverse.

Alpha Waymond meminta tolong kepada Evelyn untuk menghentikan Jobu Tupaki (Stephanie Hsu), yang merupakan putri Evelyn dan Waymond dari semesta Alphaverse. Keberadaan Jobu Tupaki sangatlah mengancam keberlangsungan semesta-semesta yang ada, dan menurut Alpha Waymond, hanya Evelyn dari semesta inilah yang bisa menghentikan Jobu Tupaki.
 
Alpha Waymond kemudian meminjamkan Evelyn sebuah alat yang bisa membuat manusia bisa meminjam kemampuan, memori, dan tubuhnya dari semesta yang lain. Dengan alat itu, Evelyn mencoba menyadarkan putrinya dan menyelamatkan multisemesta.

Berikut empat alasan kuat mengapa Everything Everywhere All at Once layak menang telak di Oscar 2023.

1. Konsep multisemesta yang gila dan liar

Gila dan liar adalah dua kata yang terlintas ketika pertama kali menonton film ini. Film ini mengangkat tema tentang multisemesta, sebuah konsep yang belakangan naik daun berkat film-film pahlawan super Marvel. Namun, konsep multisemesta di film ini jauh lebih eksploratif, gila, liar, dan imajinatif dibandingkan film-film Marvel.
 
Entah ada berapa puluh (atau mungkin berapa ratus) semesta yang ditampilkan dalam film ini, mulai dari semesta dimana manusia punya teknologi yang lebih maju, ada yang semua manusianya bertangan sosis, semesta dimana Evelyn merupakan penyanyi, aktris, seorang koki, penjual pizza, hingga ahli bela diri.
 
Ada juga semesta kartun, semesta dimana Evelyn adalah sebuah pohon, semesta dimana Evelyn hidup di zaman dinasti kerajaan, semesta dimana hanya ada batu sebagai makhluk hidup, dan masih banyak lagi yang lebih absurd. Keanehan semestanya seringkali memancing tawa, tapi tak membuat film ini jadi film lawak.
 
Selain keberagaman multisemesta yang absurd, konsep ini pun digunakan dengan baik, dimana Alpha Waymond meminjamkan Evelyn sebuah alat canggih yang memungkinkan manusia meminjam kemampuan, memori, serta tubuh dari dirinya di semesta yang lain.
 
Di sini, Evelyn yang merupakan seorang ibu rumah tangga jadi punya kemampuan beragam, salah satu contohnya ketika ia bisa meminjam kemampuan bela diri dari dirinya yang lain saat ia sedang terpojok.

2. Gambar yang memukau

Konsep multisemesta yang gila dan liar tadi berhasil digambarkan dengan tata gambar, pencahayaan, dan editing yang bagus dan rapi. Setiap semesta digambarkan punya warna, tone, nuansa, juga suasana yang berbeda. Pantas saja film ini diganjar penghargaan Best Picture pada gelaran Oscar kemarin.
 
Transisi adegan ketika para karakternya berpindah-pindah semesta yang begitu beragam pun terlihat sangat memukau, padahal banyak dari setiap semesta yang cuma muncul selama beberapa detik di layar, kemudian langsung berpindah ke semesta lainnya, kemudian berpindah lagi, dan lagi.

3. Desain karakter dan akting jempolan

Selain didukung gambar yang baik, para karakter dalam film ini juga didesain dengan baik, terutama Evelyn sebagai karakter utama. Konsep multisemesta yang terdiri dari banyak versi dan kemungkinan membuat terdapat banyak versi dari Evelyn.
 
Evelyn dengan berbagai macam versi ini didukung dengan kostum dan rias wajah yang berbeda-beda. Bayangkan saja, misal ada 30 versi Evelyn dalam film ini, maka Michelle Yeoh sebagai pemeran minimal harus gonta-ganti kostum serta merias ulang wajahnya sebanyak 30 kali juga.
 
Konsep cerita dan desain karakter yang demikian tentu saja menuntut dedikasi yang tinggi dari pemerannya. Belum lagi film ini punya porsi action yang cukup banyak, menuntut para pemerannya juga mendedikasikan diri untuk berlatih koreografi.
 
Hasilnya dapat terlihat di layar, baik Michelle Yeoh, Ke Huy Quan, Jamie Lee Curtis, maupun Stephanie Hsu mampu tampil maksimal di film ini. Akting keempatnya di beberapa momen terasa emosional dan saling berpengaruh terhadap jalannya cerita serta memancing konflik. Yeoh, Huy Quan, dan Curtis pun sama-sama membawa pulang piala Oscar berkat penampilan mereka.

4. Ceritanya tetap humble

Meskipun punya konsep gila nan liar, sinematografi apik, dan desain karakter menarik, inti dari cerita film ini sebenarnya sederhana, yakni tentang seorang anak yang merasa tidak diterima dengan baik oleh orang tuanya. Hal itu terjadi kepada Evelyn dan juga anaknya, Joy atau Jobu Tupaki.
 
Latar belakang karakter Evelyn diceritakan pernah diusir dari rumah lantaran orang tuanya tak merestui hubungannya dengan Waymond. Secara tak sadar, Evelyn mewariskan sifat orang tuanya itu kepada anaknya.
 
Perlakuan Evelyn juga membuat Joy jadi merasa tidak diterima dengan baik oleh ibunya. Keduanya pun jadi sama-sama punya hubungan yang canggung dengan orang tuanya. Hal ini disebut dengan istilah trauma transgenerasi, yang didefinisikan sebagai trauma yang diturunkan dari mereka yang secara langsung mengalami suatu kejadian ke generasi berikutnya.
 
Cerita keluarga macam ini rasanya relate dengan kebanyakan keluarga Asia, yang para orang tuanya mengungkapkan sayang dengan cara yang cenderung strict atau ketat, dimana mereka memberi banyak batasan dan aturan terhadap hidup anaknya.
 
Hal demikian secara tak sadar bisa menimbulkan luka dalam diri sang anak, dan secara tak sadar juga, sang anak mungkin saja mewariskan pola asuh yang ia terima dari orang tuanya kepada generasi berikutnya ketika dia sudah berkeluarga, dan begitu seterusnya.
 
Akhir kata, demikianlah sudut pandang kami tentang mengapa Everything Everywhere All at Once pantas membawa pulang tujuh piala Oscar 2023. Film ini bisa disaksikan di platform streaming HBO GO.
 
(Nicholas Timothy Suteja)
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ELG)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan