Rudi tipikal sutradara yang kritis menyorot apa yang tengah terjadi di dunia film. Dia tidak mengeluarkan pernyataan secara membabi buta dan menyalahkan keadaan atau pihak tertentu, tetapi bergerak secara swadaya mewujudkan apa yang menurutnya ideal. Salah satunya dengan mendirikan sekolah film bernama Underdog Fightback.
Mendirikan sekolah film adalah cara Rudi mengimplementasikan gagasannya soal mengembangkan sumber daya manusia yang menurutnya sebagai kunci penting dalam kemajuan perfilman.
Jelang akhir Mei 2016, Metrotvnews.com bertandang ke kediaman sekaligus studio Rudi Soedjarwo di bilangan Jalan Paso, Jakarta Selatan. Rumah itu juga digunakan para murid Underdog Fightback belajar seputar film.
Lantai dua rumah itu digunakan untuk kegiatan Rudi baik untuk produksi, mengajar, maupun aktivitas keluarganya. Sedangkan di lantai dasar, disewakan untuk syuting iklan. Melongok ke halaman belakang, tampak kolam renang yang sudah terbengkalai hingga ditumbuhi aneka tanaman liar.
Rumah mewah Rudi adalah saksi perjalanan hidup. Di tempat itu Rudi berkumpul bersama teman-temannya hingga lahir ide-ide liar yang berujung pada penggarapan beberapa film. Namun, Rudi mulai berencana menjual rumah itu atas beberapa alasan mendasar yang akan terurai dalam artikel ini.
Ada Apa Dengan Cinta
2002, sebuah film drama-romantis berjudul Ada Apa Dengan Cinta (AADC) sukses membuat masyarakat Indonesia mendadak ramai-ramai ke bioskop. Film itu digarap oleh rumah produksi Miles Films. Sebuah rumah produksi kecil yang terbilang baru pada waktu itu.
Miles Films menggandeng sutradara pendatang baru, Rudi Soedjarwo, untuk mengeksekusi AADC. Bertumpu pada kekuatan cerita dan kedalaman karakter, AADC menjadi barometer tersendiri bagi film drama-romantis Indonesia.
Rudi dan Ada Apa Dengan Cinta adalah jodoh. Kala itu, Mira Lesmana dan Riri Riza dari Miles Films memang tengah mempersiapkan film drama, setelah kesuksesan Petualangan Sherina.
Pilihan Mira dan Riri jatuh pada Rudi, pria yang awalnya membuat film sebatas hobi dan bersenang-senang. Nama Rudi masuk radar Miles Films karena berhasil menyutradarai film drama berjudul Bintang Jatuh (2000). Film yang diproduksi Rudi bersama teman-temannya dengan biaya sekitar Rp5 juta itu dianggap mewakili spirit generasi baru perfilman Indonesia. Tanpa pikir panjang, Rudi digandeng Miles Films.
"Dulu cukup ada beban ketika diajak Mira, karena mereka sebelumnya sukses dengan Petualangan Sherina. Kemudian ada suara-suara miring kenapa Mira pilih Rudi Soedjarwo. Terus gue juga nanya ke Mira, kenapa gue yang dia pilih untuk jadi sutradara AADC. Mira bilang, karena gue bikin Bintang Jatuh, sedangkan orang-orang yang kritik itu enggak melakukan apa-apa," kenang Rudi.
Bintang Jatuh bukan saja awal bagi Rudi. Tetapi juga mereka yang terlibat dalam film itu, antara lain Dian Sastrowardoyo, Marcella Zalianty, dan Indra Birowo.
Kesuksesan AADC mengangkat nama Rudi sebagai salah satu sutradara pendatang baru yang patut diperhitungkan. Rudi menganggap bahwa Mira dan Riri adalah pembuka jalannya.
"Mereka selalu berusaha mencari sutradara baru dan semua pada jadi-jadi (berhasil) sekarang. Mereka memang pembuka pintu. Itu yang dibutuhkan semua orang. Masalahnya tinggal orang yang sudah dibantu Mira dan Riri berterimakasih atau tidak. Kalau gue, gue berterimakasih sekali dengan mereka. Sekarang mereka minta bantuan apa saja ke gue, pasti gue jawab iya," katanya.
Kesuksesan AADC berujung 14 tahun kemudian, dengan dirilisnya AADC 2. Namun, kali ini bukan Rudi yang mendapat titah duduk sebagai sutradara. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada Rudi, Miles Films memutuskan AADC 2 digarap langsung oleh Riri Riza.
"Pertanyaan paling sering adalah kenapa enggak gue yang menyutradarai AADC 2? Buat gue, gue harus sadar diri kalau gue masih harus banyak belajar. Di dunia film itu tidak ada yang settle. Di Indonesia mungkin yang paling settle itu Garin Nugroho, karena proses dia di dunia film sudah jelas. "
Rudi sebelumnya dihubungi Mira saat AADC 2 diproduksi. Kakak musisi Indra Lesmana itu meminta dukungan langsung dari Rudi, terutama secara moral.
"Pas gue nonton pertama kali AADC 2, gue langsung berpikir memang sebaiknya bukan gue. Karena kalau gue yang sutradarai, pasti jadinya hancur. Banyak sisi surprise yang enggak terpikirkan oleh gue di film itu dan mereka mampu berpikir itu." kata Rudi bersemangat.
Dari Metal ke Balik Layar
Tidak banyak yang tahu bahwa Rudi adalah seorang drummer. Bukan sekadar hobi, Rudi pernah menekuni profesi sebagai musisi profesional. Momen itu terjadi sekitar 26 tahun lalu.
Rudi pernah tergabung dalam grup musik rock industrial Sic Mynded bersama Oddie yang kini dikenal sebagai bagian dari grup Getah.
Tidak tanggung-tanggung, Sic Mynded sempat merilis album secara independen di Amerika Serikat dan didistribusikan oleh salah satu toko musik besar di California, Tower Records.
Karier Sic Mynded sempat berkibar di Indonesia. Mereka ikut berpartisipasi dalam album kompilasi Metal Klinik (1997). Tidak berselang lama, Sic Mynded dipinang Musica Studio's untuk merilis album penuh di Indonesia.
"Bersama Oddie, kami dulu termasuk penggerak metal pertama di Indonesia. Dulu ada tempat di Pondok Indah namanya Pid Pub, salah satu penggeraknya almarhum Jodie mantan suami Ayu Azhari, Sisanya dari teman-teman di Pid Pub itu di antaranya adalah Getah yang sekarang," kata Rudi.
Sebelum bersama Sic Mynded, Rudi sempat tergabung grup musik bernama Razzle yang membawakan lagu-lagu milik Guns N' Roses.
"Sebelumnya gue juga punya band main Guns N' Roses, terus gue cabut (keluar) dan digantikan Riri Riza sebagai drummer. Dia jago banget, dia pernah juara festival musik," ucapnya.
Lepas dari SMA, Rudi memang hijrah ke San Diego, California, untuk studi di bidang ekonomi. Di Amerika, Rudi juga bergaul dengan anak-anak Indonesia yang hobi musik, termasuk Oddie.
"Dulu Oddie kebetulan sekolah di Amerika juga, terus kami juga main sama vokalisnya Rotor. Waktu di Amerika gue juga sempat menjadi drummer Rotor. Pada waktu metal di sini mulai menurun, pada mencari peruntungan ke Amerika semua, bekerja di sana termasuk Irfan (Rotor)," katanya.
Film, film dan film
"Gue harus meninggalkan sesuatu untuk anak-anak gue, salah satunya film yang memiliki arti. Bukan sekedar film yang akan dilupakan orang-orang dan hanya masuk ke laci."
Kalimat di atas cukup untuk menggambarkan bagaimana semangat Rudi di usianya yang ke-44 masih membara.
Rudi dan film seperti saling menemukan. Semua berawal ketika Rudi berhasil menyelesaikan studi ekonomi di San Diego, pada tahun 1994.
"Gue ke Amerika belajar ekonomi S1, pas lulus enggak ada yang nempel. Gara-gara itu gue mau ambil studi gelar master repot, gue mau pulang juga belum siap dan takut mengecewakan orangtua gue. Gue masih mau main-main, gue bilang ke nyokap mau ambil sekolah film di Amerika."
"Gue ambil kelas di San Francisco, kelas untuk S1, tetapi gue ambil kelas itu hanya supaya visa gue enggak mati. Tetapi gue enggak pernah masuk karena gue memang cuma mau main-main di Amerika. Kalau tidak salah gue cuma mengikuti kelas dasar saja di tiga semester pertama. Sisanya ya main-main sama teman-teman di sana. Fun saja, toh dolar dulu rendah. Aman banget," kata Rudi.
Pada akhirnya, Rudi harus kembali ke Indonesia. Awalnya Rudi mencoba peruntungan melamar kerja sebagai karyawan. Tetapi, alam berkata lain.
"Gue pulang ke Indonesia dan masih berharap kerja sebagai ekonom. Tetapi gue enggak dapat-dapat pekerjaan. Gue sempat alami fase denial, setiap hari pakai kemeja rapih dan celana bahan agar merasa sudah kerja, padahal belum. Terus gue nongkrong sama anak-anak dan kepikiran untuk bikin film, terus gue ajak adiknya teman gue, Dian Sastro dan lahirlah Bintang Jatuh. Itu tahun 1999. Dari situ kami buat pemutaran di mana-mana dan Mira Lesmana dengan Riri nonton. Dari situ gue ditawari bikin Ada Apa Dengan Cinta."
Rudi adalah anak dari Anton Soedjarwo, Kapolri periode 1982-1986.
"Sebelum meninggal, bokap gue nulis di kertas, 'Rudi masuk ABRI," kata Rudi sembari tertawa kecil.
Tetapi, jiwa seni Rudi jauh lebih dominan hingga akhirnya dia tidak menjalani titah sang ayah. Hidup di jalan yang sesuai keinginan hati memang tidak selalu mulus. Rudi mengalami fase-fase sulit sebagai sutradara. Namanya bukan jaminan kemudahan menuju karpet merah box office. Dia masih bergelut dengan permasalahan-permasalahan klasik yang selalu relevan, uang.
"Setelah membuat 9 Naga, gue terjebak persoalan uang karena gue punya anak. Menurut gue, fase itu sudah enggak nikmat, energinya beda. Lo bisa merasakan itu dari film-film gue setelah 9 Naga. Itu yang harus gue temukan lagi,"
"Gue enggak bisa hidup tanpa film. Entah ada atau tidak ada bioskop. Toh gue memulai bikin film bukan untuk bioskop. Gue membuat film dengan fun, ketika gue merasakan tidak fun lagi, gue berhenti. Makanya gue sempat lama enggak bikin film. Gue harus menemukan lagi kegelisahan gue supaya bisa bikin film nikmat seperti dulu. Selama gue enggak menikmati, filmnya akan jelek."
Rudi memiliki tiga anak, semuanya laki-laki. Paling besar masih duduk di sekolah dasar. Tuntutan ekonomi harus dipenuhi Rudi sebagai ayah, di satu sisi dia merasa haus membuat film-film yang sesuai nuraninya dan dilakukan bukan dengan beban.
"Gue baru menemukan formulanya sekarang untuk bikin film enggak terbebani. Gue akan jual rumah gue ini, kemudian hasilnya gue pecah ke anak-anak gue dan sisanya gue pakai untuk bikin film lagi," tegas Rudi.
"Gue dalam dua tahun ini, dua kali ditolak TV, karena dianggap film gue sudah enggak menjual. Ini exactly sama seperti yang gue alami ketika membuat Bintang Jatuh. Gue sudah ada gambaran akan membuat apa dan gue berpikir mungkin gue harus kembali membuat film dengan camcorder gue yang lama, dengan cara gue yang lama," tutup Rudi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id