Makassar: Tahun 2060 atau bahkan bisa lebih cepat, Indonesia berkomitmen mencapai net zero emission. Komitmen terlihat dengan target mengurangi emisi karbon sebesar 29 persen di tahun 2030 dengan usaha sendiri, dan 41 persen dengan bantuan internasional.
Kota Makassar, Sulawesi Selatan, juga berkomitmen demikian, dengan mulai aktif mempromosikan program Kota Rendah Karbon (Makassar Low Carbon). Program ini bertujuan untuk mengurangi emisi karbon dan menciptakan lingkungan yang berkelanjutan.
Kamis, 12 September 2024, sebanyak 3.000 bibit mangrove atau bakau ditanam di Kawasan Pesisir Lantebung, Kota Makassar, yang memang dikenal sebagai kawasan wisata hutan bakau. Penanaman mangrove tersebut sebagai salah satu upaya menurunkan emisi karbon dan menambah ruang terbuka hijau (RTH) di Makassar yang belum mencapai target.
Bibit mangrove yang ditanam adalah jenis Rhizopora spp dan Soneratia spp. Penanaman bibit dilaksanakan bersama dengan Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia dan kelompok masyarakat lokal pesisir pengelola Kawasan mangrove Lantebung.
Data Dinas Lingkungan Hidup Kota Makassar, RTH di Kota Makassar baru 11,47 persen hingga akhir Desember 2023 lalu, sementara targetnya 30 persen atau melingkupi 5.273,1 hektare lahan untuk RTH di Makassar.
"Sehinga kita lakukan penanaman mangrove yang disebut dapat berkontribusi pada serapan karbon sebesar 1.025 ton per tahun, dan menambah RTH Kota Makassar," sebut Ikuo Morino, President Director PT Sankyu Indonesia International, di sela-sela penanaman mangrove.
Penanaman bibit mangrove ini, sebagai tindak lanjut dari perjanjian kerja sama program restorasi mangrove dan mitigasi bencana serta perubahan iklim yang ditandatangani PT Sankyu Indonesia International dan Yayasan Kehati yang bergerak pada program pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia dan pemanfaatannya secara adil dan berkelanjutan.
Kegiatan restorasi ini sangat penting mengingat Kawasan Mangrove Lantebung merupakan satu-satunya areal hutan mangrove tersisa di Kota Makassar. Penanaman mangrove berfungsi untuk mengembalikan fungsi-fungsi ekologis dan fisik hutan mangrove sebagai daerah penyangga dari ancaman erosi dan abrasi pantai, sekaligus sebagai daerah asuhan, dan perkembangbiakan berbagai biota laut lainnya.
Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI, Riki Frindos menjelaskan, Program Mangrove Blue Carbon tidak hanya memberikan dampak ekologis, namun juga ekonomi dan sosial. “Sudah banyak masyarakat yang merasakan dampak dari program konservasi mangrove, mulai dari kegiatan edukasi, penelitian, ekowisata, kuliner, dan lain-lain. Kami berharap kegiatan ini dapat berhasil dan menjadi pembelajaran bagi daerah lain di seluruh Indonesia,” jelasnya.
Selain di Makassar, Program Mangrove Blue Carbon sendiri sudah dijalankan di beberapa wilayah di Indonesia, seperti di Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah, Kabupaten Brebes Jwa Tengah, dan Kabupaten Pandeglang Banten. MI/Lina Herlina
Foto: Dok. Yayasan Kehati Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News