Pati: Cuaca dengan awan tebal dan hujan sejak siang cukup deras mengguyur daerah Kudus, Grobogan dan Pati, Jawa Tengah, jalan raya penghubung ketiga daerah itu cukup basah dan beberapa genangan air mulai terasa mengganggu kendaraan yang melintas.
Gunung Kendeng yang membentang hingga perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur terlihat angkuh berdiri, dari kejauhan beberapa terlihat menghijau tetapi sebagian besar lainnya terlihat botak berwarna coklat dan putih dengan lereng terjal serta gumpalan bebatuan menonjol cukup jelas terpampang sepanjang jalan Grobogan-Blora.
Meskipun sepanjang jalan penghubung antar daerah masih terlihat keramaian kendaraan melintas, namun beberapa pedesaan terlihat cukup sepi karena di tengah hujan ini warga memilih bertahan di dalam rumah. Hanya beberapa orang yang berteduh di warung sederhana sembari minum kopi sambil ngobrol-ngobrol dengan suara cukup keras mengimbangi suara hujan yang jatuh di atap seng.
Topik pembicaraan tentang tanaman hingga usaha, namun tampaknya mereka lebih fokus pada bencana banjir bandang yang baru saja terjadi di beberapa desa di Kudus, Pati dan Grobogan.
"Untung di Pegunungan Kendeng sisi ini masih hijau, jadi tidak sampai banjir bandang seperti desa lain," kata Wiryono, 50, warga Desa Baturejo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Selasa, 28 November 2023.
Warga di Desa Baturetno, Kecamatan Sukolilo, Pati ini memang cukup bersyukur, di tengah belasan ribu hektare Gunung Kendeng yang kritis akibat penebangan dan penambangan liar terjadi sejak beberapa tahun lalu, lahan
hutan di sisi mereka tetap terjaga, sehingga ketika curah hujan tinggi masih tetap dapat tidur nyenyak tanpa khawatir kebanjiran.
Lahan pertanian yang subur baik saat musim kemarau, menjadikan desa itu tetap memproduksi pangan, bahkan sungai tetap mengalir air hingga ke hilir meskipun saat musim hujan di ini volume air sungai meningkat hingga 100
persen dari sebelumnya.
"Kami hanya menjaga agar tidak ada sampah dan tanggul tidak jebol," ungkap Hardi, 40, warga lainnya.
Tokoh Samin di Dusun Bombong, Desa Baturejo, Kecamatan Sukolilo, Pati Gun Retno mengatakan untuk menjaga alam agar tetap bermanfaat, bersama warga Samin di sekitar Pegunungan Kendeng ini terus melakukan upaya menjaga gunung ini agar tidak rusak ataupun di rusak oleh manusia.
"Sudah bertahun-tahun lamanya, kita menjaga Gunung Kendeng dari pengerusakan baik melalui perjuangan diplomatis hingga ke pemerintah pusat, maupun menanam penghijauan (reboisasi) di kawasan pegunungan ini," ujar Gun Retno juga koordinator Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK).
Cukup berat jika dirasakan karena kami bekerja menjaga gunung secara mandiri, lanjut Gun Retno, tapi demi anak cucu hal itu tetap harus dilakukan, karena diketahui Gunung Kendeng merupakan kars menyimpan sumber mata air di bagian bawah untuk memenuhi kebutuhan pertanian dan manusia saat musim kemarau.
Melalui kearifan lokal yang tetap terjaga, demikian Gun Retno, budaya menanam dan mengolah lahan dilakukan secara sederhana dari mulai tanpa pupuk kimia hingga sistem penggunaan pengairan yang tidak berlebihan.
"Untuk menenang satu pohon saja kami ijin dengan ibu bumi karena pohon juga menjaga bumi ini," imbuhnya.
Pegunungan Kendeng merupakan hulu dari anak-anak sungai Bengawan Solo, Sungai Lusi dan Sungai Brantas harus tetap terjaga, menurut Gun Retno gunung kapur yang kaya dengan sumber daya alam cukup menggiurkan untuk ditambang, tetapi kita harus tetap menjaga, karena kerusakan kecil saja sudah menjadi bencana seperti banjir longsor seperti beberapa saat lalu.
Masih jelas dalam ingatan, bagaimana warga Gunung Kendeng melakukan protes di depan Istana Merdeka Jakarta dengan menyemen kaki, karena menolak dibangunnya pabrik semen di Grobogan, mereka membayangkan kerusakan alam pegunungan tersebut karena eksploitasi untuk memenuhi kebutuhan bahan baku semen.
Gunung Kendeng memiliki ketinggian 1.900 mdpl memang patut dijaga, seperti diungkapkan Kepala Seksi Perencanaan dan Evaluasi Das Bappedas Pemali Jelatun Sinta Damayanti gunung itu saat ini ada belasan ribu hektare dalam kondisi kritis akibat penambangan dan penebanfan liar yang sudah
bertahun-tahun lamanya.
"Kita terus berupaya melakukan reboisasi, karena lahan pegunungan yang kritis tersebut berdampak buruk dan mudah terjadi bencana banjir dan longsor," ungkap Sinta Damayanti. MI/Akhmad Safuan Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News