Pidie: Kawasan hutan lindung, lereng gunung dan tepi pantai sepanjang aliran Sungai Krueng Geupo, Kecamatan Mane, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh, terjadi kerusakan sangat mengkhawatirkan. Pasalnya sudah dua tahun terakhir atau sejak Januari 2022 di kawasan hutan lindung Ulu Masen itu terjadi aktivitas penambangan emas ilegal.
Akibatnya, ratusan hektare (ha) hutan lindung nan rimbun, lereng bukit dan tebing sungai sepanjang Sungai Krueng Geupo, kini telah gundul. Cukup banyak bertaburan lubang besar sisa galian alat berat becho (eskavator) di bekas pencarian biji emas.
Sesuai penelusuran Media Indonesia, sejak sepuluh hari terakhir, tidak terhitung jumlah kayu kwalitas meranti dan hutan rotan hancur akibat aktivitas tambang liar pencari biji logam mulia itu. Belum lagi rusaknya habitat hewan liar seperti gajah, harimau, orangutan, rusa dan lainnya.
Bahkan puluhan ekor gajah yang terusik di lokasi tambang, sekarang sering turun ke perkampungan warga Kecamatan Mane dan Geumpang. Padahal jarak lokasi tambang ditengah hutan lindung itu sekitar 17 km dari permukiman warga Mane.
Lalu tercemarnya biota sungai sehingga terancam punah ikan keureuling, ikan jurung, belut dan lainnya. Sebelumnya kekayaan sungai itu dikenal sebagai sumber ekonomi untuk menafkahi keluarga masyakat sekitar.
"Karena air sungai terus-menerus keruh terkontaminasi sisa lumpur dan limbah pengolah biji emas. Populasi berbagai jenis ikan harga tinggi itu terancam punah. Ini sama dengan membunuh sumber nafkah nelayan sungai di sini. Limbah kimia seperti mercury yang dibuang ke sungai, lalu masuk ke tubuh ikan. Terus ikan itu dikonsumsi manusia, ini sangat berbahaya kesehatannya," tutur Abdullah, tokoh masyarakat Kecamatan Mane, kepada Media Indonesia, Minggu, 10 Desember 2023.
Dikatakan Abdullah, sedikitnya ada 8 unit alat berat jenis becho beroperasi di daerah aliran Sungai Krueng Geupo. Gajah-gajah besi ini dengan leluasanya mengeruk lereng bukit dan tebing sungai. Sepak terjang para perusak alam pencari biji emas itu seperti kebal sanksi atau laksana di negeri krisis penegak hukum.
Sebagian toke pemodal dan pemilik becho itu adalah dari luar Kecamatan Mane. Mereka diduga pengusaha yang memiliki jaringan kuat dengan pihak tertentu. Hanya saja bekerja sama dengan beberapa orang lokal dan
mempekerjakan warga sekitar sebagai buruh kasar.
Lebih parah lagi adalah praktik dilakukan oleh para mafia yang seolah resmi atau berpura-pura legal. Mereka adalah sekelompok tertentu yang menamakan diri panitia tambang.
Kelompok orang ini disebut-sebut dari pihak terstruktur memiliki jaringan kuat. Panitia inilah pemberi ini kepada pengusaha pemodal untuk bisa masuk beroperasi di hutan lindung daerah aliran Sungai Krueng Geupo.
Untuk mendapatkan izin bodong itu pengusaha penambang harus membayar setoran setiap bulan sebesar Rp27 juta per alat berat becho melalui panitia. Alasannya uang iuran haram tersebut digunakan sebagai keperluan
sosial, untuk keamanan dan disetor berjenjang.
"Banyak cara sudah kami tempuh supaya aktivitas tambang yang merupakan itu terhenti. Puluhan warga Desa Mane dan masyakat Desa Tutur Cut sudah pernah melakukan patroli atau penyisiran ke lokasi guna mengusir penambang, ternyata beberapa hari setelah itu mereka kembali lagi seperti ada yang di belakangnya. Bahkan pernah ada pihak tertentu mendatangi kami untuk merestui dengan iming bagi hasil. Kami saja tidak bersedia karena lebih memperhatikan kerusakan lingkungan dan bencana banjir," tutur seorang tokoh lainnya. MI/Amiruddin Abdullah Reubee
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News