BADAK sumatra, satu-satunya spesies yang tersisa dari genus Dicerorhinus dan dikenal juga sebagai badak berambut, merupakan jenis badak paling primitif, yang hanya dimiliki Indonesia.
Kini, satwa itu telah masuk kategori kritis (critically endangered) berdasarkan kriteria International Union for Conservation of Nature (IUCN).
Data penurunan sebaran dan populasi badak sumatra menunjukkan bahwa proteksi saja saat ini tidak cukup untuk menyelamatkan badak sumatra, yang kian merosot di alam. Dalam empat dekade terakhir, populasi satwa ikonik tersebut menurun dengan cepat, diperkirakan hingga 90%.
Pada 2015, misalnya, badak sumatra di Taman Nasional Kerinci Seblat dinyatakan punah. Ditambah dengan fakta makin sulit ditemukannya satwa ini di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (BBS).
“Saat ini, kalaupun masih ada, diperkirakan hanya tersisa 2-3 ekor saja di sana. Begitu pula dengan di Way Kambas, diperkirakan sudah kurang dari 15 ekor badak sumatra yang tersisa. Niat untuk melakukan penyelamatan semakin mendesak,” ungkap pakar badak dari IPB University, Muhammad Agil, beberapa waktu lalu.
Dosen dari Divisi Reproduksi dan Kebidanan Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) itu menyatakan ada teknologi yang bila segera diterapkan kemungkinan dapat membantu menyelamatkan badak dari kepunahan.
Teknologi yang dimaksud ialah Assisted Reproduction Technology (ART) dan Biobank, teknologi reproduksi berbantuan yang dapat memanfaatkan sumber daya genetika yang ada untuk menghasilkan embrio badak sumatra.
Dengan teknologi ini dapat dikembangkan lebih lanjut beberapa kemungkinan skenario penyelamatan, termasuk teknik bayi tabung dengan in vitro fertilization (IVF) dan intra cytoplasmic sperm injection (ICSI) atau teknik kloning dengan teknik induced pluripotent stem cell (iPSC) dari sel-sel somatik (fi broblas).
Pasalnya, berdasarkan hasil riset dan pengumpulan data dari tahun 2000-2017, sebagian besar badak yang berhasil ditangkap dari alam untuk diselamatkan ternyata sulit berkembang biak.
Hampir lebih dari 70% badak sumatra yang diselamatkan dari badak yang terisolasi dan doomed rhino tersebut mengalami kelainan atau kondisi patologis (tumor dan kista) dan sulit bunting (hamil).
“Kita perlu segera memaksimalkan pemanfaatan teknologi agar dapat memanen sumber genetiknya dari badak betina dan jantannya, untuk bisa menghasilkan embrio yang dapat langsung digunakan ataupun dapat disimpan dan kemudian ditransfer pada betina (induk) pengganti di masa depan sebagai back up,” urai Kepala Laboratorium Analisis Hormon FKH IPB University itu.
Menurutnya, teknologi seperti bayi tabung pada satwasatwa terancam punah sudah berkembang sangat maju dan berhasil menyelamatkan badak putih Afrika utara (Northern white rhino) yang sudah punah di alam.
Selain itu, pengalaman transfer embrio pada sapi dengan tingkat keberhasilan hingga 40% di Indonesia pun dapat menjadi model dengan riset yang lebih dalam.
“Untuk itu, IPB University siap mendukung program dan aplikasi ART dan Biobank Badak Sumatra dan Satwa Liar Terancam Punah di Indonesia,” pungkasnya. Dok Media Indonesia Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News