FENOMENA aliran debris (debris flow) diyakini sebagai salah satu longsoran yang paling banyak menimbulkan korban jiwa pada saat banjir bandang menerjang suatu wilayah. Tercatat sejumlah pergerakan tanah dan bebatuan itu terjadi, seperti di Cisolok, Sukabumi; Cililin Kabupaten, Bandung Barat (2004), Hulu Sungai Bawakaraeng, Sulawesi Selatan (2005); dan Jember (2006) menimbulkan banyak korban jiwa.
Terbaru, debris flow pun merenggut banyak nyawa warga Desa Nelelamadike, Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Ahli geologi Institut Teknologi Bandung (ITB), Imam Achmad Sadisun, membenarkan hal itu. Dijelaskan, bahaya ini akan lebih mengancam masyarakat yang sehari-harinya tinggal dan beraktivitas di jalur debris flow hingga area terendahnya.
Terlebih, ancaman ini lebih berpotensi terjadi di waktu hujan ekstrem, seperti pada saat siklon Tropis Seroja sekarang ini. Debris flow lebih berpotensi terjadi di kawasan yang tingkat kemiringannya tinggi.
Kondisi itu mengakibatkan aliran lahar dingin meluncur deras dari kawasan hulu ke hilir. “Di beberapa kejadian ada yang sampai 30 km/jam, tetapi rata-rata 10 km/jam,” katanya.
Meski begitu, menurutnya, tidak semua lahar dingin disebut debris flow. Baru bisa dinamai debris flow jika kandungan zat padatnya lebih dari 70%.
Kawasan berpenduduk yang dilalui debris flow berpotensi rusak berat sehingga menimbulkan banyak korban jiwa. Sebabnya, aliran itu terdiri atas bongkahan batu dan material lainnya, seperti lumpur yang kental.
Bahkan, area yang dilalui lumpur itu pun tanahnya bisa ikut bergerak, termasuk yang memiliki banyak kandungan batu. “Walaupun enggak tinggi kemiringannya, debris flow bisa jadi juga karena ada lumpur yang berfungsi sebagai oli, jadi licin,” ujarnya.
Sementara itu, debris flow yang mengalir dari hulu ke hilir bisa juga menyapu kawasan yang berada di luar aliran, terutama yang berada di hilir. Imam melanjutkan banyak daerah di Indonesia yang berpotensi terjadinya debris flow. Tidak hanya yang berada di sekitar pegunungan aktif, menurut Imam, di gunung yang tidak aktif pun bisa berpotensi debris flow apalagi di saat hujan ekstrem.
Tak hanya itu, menurutnya, daerah yang berpotensi debris flow pun bisa diketahui sehingga, menurutnya, setiap daerah pun bisa diketahui mana saja yang menjadi jalur debris flow.
“Jalur lahar bisa dipetakan. Itu pentingnya peta kebencanaan. Saran saya, untuk bahaya debris flow, dibuat juga peta khusus,” ujarnya. Dok Media Indonesia Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News