KASUS kekerasan seksual kembali menjadi perhatian publik. Peristiwa itu terjadi pada salah satu mahasiswi Universitas Brawijaya berinisial NW. Diduga pelakunya ialah kekasihnya yang berinisial RBHS. Korban kekerasan seksual mengalami depresi yang berujung pada kematian korban dengan bunuh diri meminum racun sianida.
Selain kasus tersebut, sebelumnya terjadi kasus yang dilakukan salah satu dosen di UNSRI. Pelecehan itu dilaporkan empat mahasiswa yang menjadi korban pelecehan seksual oleh dua dosen UNSRI berinisial A dan R. Mencuatnya kasus kekerasan seksual belakangan ini membuat polemik di kalangan masyarakat mengenai perlindungan terhadap korban kekerasan seksual di Indonesia.
Wilayah pondok pesantren juga seakan tak lepas dari kasus pelecehan seksual. Terbaru, dilaporkan bahwa 21 santriwati menjadi korban pelecehan salah satu guru di pondok pesantren di Kota Bandung. HW, pelaku, memberikan janji palsu dalam melakukan aksinya. Para korban mengalami trauma berat akibat tindakan bejat tersangka. Kini HW terancam hukuman 15 tahun penjara berdasarkan Pasal 81 UU Perlindungan Anak.
Indonesia sebetulnya memiliki prosedur dalam pelaporan kekerasan seksual. Saat ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA), Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menjadi lembaga terdepan yang memberikan bantuan kepada korban kekerasan seksual. Bahkan, di Kementerian PPPA, pelaporan kekerasan seksual dapat dilakukan secara daring untuk mempercepat laporan dan perlindungan kepada korban kekerasan seksual. Dok. Media Indonesia Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News