Direktur Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dan Pengembangan Usaha KKP, Riyanto Basuki, mengungkapkan, teknologi produktivitas garam yang dilakukan oleh petani garam Indonesia menggunakan geo membran dan ulir filter. Berbeda dengan Jepang yang merebus air laut untuk dijadikan garam.
"Terkait teknologi garam, pada saat ini belum ada teknologi yang lebih canggih dibanding dengan apa yang kita terapkan saat ini. Di Jepang, mereka merebus air (laut) untuk membuat garam, sehingga kualitasnya cukup bagus," ucap Riyanto saat ditemui di kantor KKP, Jalan Medan Meredeka Timur, Jakarta Pusat, Rabu (7/1/2015).
Ia mengungkapkan, alasan kualitas garam Indonesia tak lebih baik dengan garam milik Jepang adalah karena petani garam Indonesia hanya memiliki lahan sebesar 0,27 hektare (ha). Padahal idealnya, sebut dia, untuk membuat kualitas garam yang baik sekurangnya memiliki lahan sebesar 5 ha.
"Per orang (petani garam) itu menguasai lahan garam sekitar 0,27 ha. Angka itu kalau diteliti, belum begitu efisien untuk proses yang dilakukan secara mandiri," ujar dia.
Karena, sambung Riyanto, lahan sebesar lima ha ini digunakan untuk pengambilan air laut, evaporasi air laut, penyimpanan air tuah hingga air tuah di meja garam. Sehingga, aku dia, sulit bagi petani garam perorangan untuk memproduksi garam berkualitas baik.
Maka itu, kedepannya KKP akan melakukan kebijakan penyatuan lahan bagi para petani garam perorangan. Dengan penggabungan lahan tersebut, kualitas produksi garam rakyat nantinya bisa lebih efisien dan berkualitas.
"Pada saat ini, fakta dilapangan menyebutkan bahwa produktifitas garam rakyat kita hanya berada pada kisaran 80-90 ton per hektar per musim. Ini yang perlu kita tingkatkan. Kita punya lahan terbatas. Caranya, 3,3 juta ton target produksi garam kita dibagi dengan lahan yang ada dengan penyatuan lahan," pungkas Riyanto.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News