
Bagi sebagian orang, Inggris memang tetap tim favorit juara, tetapi di Piala Dunia tahun ini sepertinya lebih asyik menganggapnya sebagai tim kelas dua.
Inggris home of football.Dari sana permainan ini lahir. Inggris harus juara sepak bola. Begitu kira-kira keyakinan orang Inggris. Baca saja lirik lagu yang dibuat untuk menyemangati pasukan Inggris di Piala Eropa 2016. Judulnya, Football’s Coming Home.
Dalam film dokumenter The Little Azkals, yang bercerita tentang perjalanan bocah-bocah Filipina yang diterbangkan ke Inggris untuk berlatih pada 2014, Duta Besar Inggris untuk Filipina Asif Ahmad, memberikan pernyataan penuh percaya diri saat diwawancarai.
Kenapa Inggris ikut mensponsori pengembangan sepak bola muda Filipina? Kira-kira begitu pertanyaan reporter. Ahmad pun menjawab lugas, "Inggris adalah rumah sepak bola. Apa yang bagus bagi sepak bola, pasti bagus juga buat Inggris.”
Di luar itu, faktanya Inggris tak pernah benar-benar ‘memulangkan’ sepak bola ke rumahnya. Ambisi menyandang status Tuan Besar sepak bola mentok terus. Dari turnamen ke turnamen, Inggris hanya berakhir sebagai salah satu kandidat juara. Ibarat dalam pemilu, Inggris adalah calon yang selalu ikut kontestasi dan diyakini suporternya layak menang. Realitanya? Gagal lagi, gagal lagi.
52 tahun lalu, media di Inggris bisa memasang headline ‘sombong’ seperti yang dilakukan Evening Standard setelah Inggris juara Piala Dunia 1966. ‘Champions of The World’. Gagah betul. Yang menang mah, bebas!

(Skuat Timnas Inggris saat juara Piala Dunia 1966 yang digelar di rumah mereka. Foto: Mirror)
Seiring waktu, glorifikasi macam begitu rasanya usang. Seperti nasib koran lama yang tersimpan di rak perpustakaan atau lemari tua. Jika headline itu terus digelorakan, orang luar tentu saja tak sungkan mencibir. “Champions dari mana?!”
Saat Inggris dikalahkan Islandia pada Piala Eropa 2016, ada meme yang cukup viral. Bunyinya menurut saya menggambarkan ego yang tertanam di memori bawah sadar kolektif orang Inggris. “Iceland supposed to be cheap, but Joe Hart saved nothing.” Diksi, ‘Islandia seharusnya murah,’ tentu tidak muncul begitu saja. Ini adalah ekspresi dari mereka yang merasa diri jauh lebih hebat.
Orang Inggris sungguh tidak terima dengan kekalahan atas Islandia. Sama dengan orang Indonesia tak terima saat Andik Vermansyah Cs dikalahkan Brunei 0-2 pada final Piala Sultan Hassanal Bolkiah 2012.
Kembali soal Inggris. Menyongsong gelaran Piala Dunia 2018, ekspektasi warga Inggris yang terlihat di permukaan tak lagi besar. Penduduk Negeri Ratu Elizabeth itu mungkin sudah lelah berharap. Setidaknya itu yang tercermin dari dua survei yang menanyakan kepada responden tentang kans Inggris juara.
Inggris lolos ke Piala Dunia 2018, setelah mengandaskan Slovenia 1-0 di Wembley. The Three Lions menjadi juara Grup F dengan tanpa sekali pun kalah dari 10 laga. Statistik itu toh tidak membuat responden percaya dengan taji skuat Gareth Southgate.
Sebanyak 90 persen warga tidak yakin Inggris juara di Piala Dunia 2018. Ini hasil survei dari Voice of Fans yang digelar media Inggris, The Sun.
Survei lain yang dilakukan Currys PC World hasilnya 11-12. Dari dua ribu responden, hanya tiga persen percaya Inggris bakal juara. Sebenarnya dari jumlah responden itu, ada sepertiga yang percaya Inggris akan menjadi jawara Piala Dunia. Sayang, ada tetapinya. Menurut mereka, momen itu tidak terjadi selama mereka hidup. Duh, segitunya!
Kampanye Inggris di Piala Dunia belakangan memang tidak menggembirakan. Menurut saya, Timnas Inggris setelah juara Piala Dunia 1966, ada dua tipe. Tipe yang kalah karena ‘dianggap kurang beruntung,’ dan tipe yang kedua, yang kalah karena memang timnya ‘dianggap payah’.
Tipe yang pertama eranya berakhir hingga 2010. Bintang bertaburan, dan catatan kekalahan diwarnai drama penalti atau kontroversi. Tahun-tahun selanjutnya, Timnas Inggris masuk fase ke tipe yang kedua.
Inggris tak pernah lolos lagi dari fase gugur selepas kemenangan dari Ekuador di Piala Dunia 2006. Kemudian di Piala Dunia 2014, Inggris makin terpuruk. Mereka gagal lolos dari fase grup. Lalu di Piala Eropa 2016, Inggris dibekuk Islandia 1-2.
“Ini juga salah satu alasan ekspektasi fans sekarang rendah,” kata Alan Shearer, mantan striker Inggris era 90-an yang mengoleksi 30 gol di timnas.
Banyak alasan untuk menjustifikasi prediksi Inggris bakal apes lagi di Piala Dunia tahun ini. Pelatih kurang berpengalaman, kompetisi yang terlalu menguras tenaga. Lalu, soal skuat yang terlalu banyak pemain minim jam terbang, dan bukan generasi emas.
Untuk yang terakhir, orang mungkin beralasan saat pasukan Tiga Singa dihuni Rio Ferdinand, David Beckham, Paul Scholes, Steven Gerrard, Frank Lampard saja, Inggris gagal, apalagi sekarang?! Siapa pemain yang punya nama besar seperti mereka berempat? Tidak ada yang bisa dibandingkan dengan amunisi Inggris saat ini. Kekalahan dari Islandia di turnamen Piala Eropa 2016 juga membuat trauma tersendiri bagi fans.
Lalu bagaimana dengan hasil undian grup? “Kita pernah berbicara tentang hasil undian yang baik dan buruk. Tidak ada yang benar-benar terealisasi bagi Inggris. Sejarah membuktikan hal-hal begitu bisa sangat buruk,” kata Shearer.
Tunggu dulu! Masih boleh lah berharap Inggris kali ini bisa melaju jauh. Di Grup G, lawan Inggris relatif empuk. Panama, Tunisia, dan kemudian satu tim yang agak berat, Belgia. Setelah itu di babak 16 besar calon lawan juara dan runner up grup adalah tim di Grup H yang berisi Polandia, Kolombia, Jepang dan Senegal. Lumayan.
Setidaknya Inggris belum bertemu tim-tim raksasa. Jika lolos, baru tantangannya asli berat di perempat final. Bisa jadi Brasil, Jerman, Argentina, atau Prancis lawannya.
Meski liganya paling bertabur bintang, Inggris lebih cocok disebut tim kelas dua. Bukan tim favorit. Ini pendapat saya ya. Berharap saja, kejutan datang dari pemain-pemain muda seperti Marcus Rashford, Delle Ali, dan Raheem Sterling.
.jpg)
(Foto: AFP/AFP PHOTO - Adrian DENNIS)
Sang pelatih Gareth Southgate berani menyisakan hanya lima pemain yang tampil empat tahun lalu di Piala Dunia Brasil. Itu artinya, Inggris bisa akan terlihat beda karena mayoritas pemainnya baru diangkat dari oven. Pasti nyos kayak nastar Lebaran.
Di laga yang ketat, kaki-kaki yang segar dan lapar kemenangan bisa menjadi pembeda. Lihat bagaimana energiknya Michael Owen ketika tampil di Piala Dunia 1998 dan 2002.
Yang penting mental pemain terjaga. Kritik terhadap tim, adalah salah satu tantangan berat untuk diatasi Harry Kane dan kolega saat ini. Mereka harus melupakan cemoohan suporter dan luka Piala Eropa 2016. Menurut Shearer, problem lain, adalah payahnya Inggris saat adu penalti. Penalti bisa jadi batu sandungan Inggris. Sejarah menunjukkan, dari 11 turnamen besar, enam kali Inggris tersingkir karena itu.
Southgate sendiri pernah merasakan pahitnya adu penalti. Saat perempat final Piala Eropa 1996 menghadapi Jerman, dia lah satu-satunya biang keladi yang membuat Inggris tersingkir.
Pekerjaan rumah selanjutnya adalah motivasi berlipat tim-tim gurem seperti Tunisia dan Panama untuk mengulang kesuksesan Islandia. Mereka pasti begitu tertantang untuk menjungkalkan Inggris. Mendapatkan poin adalah satu hal. Mengalahkan Inggris adalah sejarah besar bagi tim-tim itu. Mereka bisa merayakannya seperti sudah juara.
Pada pertandingan perdana, Inggris akan menghadapi Tunisia. Di turnamen besar, semua laga adalah hidup mati, meski itu di babak grup. Pemain sekelas Lionel Messi saja mengakui beratnya menjalani laga perdana. “Rasa gugup pada pertandingan pertama bisa memaksamu melakukan kesalahan,” kata bintang Argentina ini.
Pada Piala Dunia 2014, Inggris tersingkir di babak grup. Catatan ini dan kekalahan memalukan dari Islandia sebelumnya, bakal membawa tekanan tersendiri yang bisa membuat pemain Inggris lebih tegang.
Karena status kurang dijagokan - lagi, setidaknya bagi saya - Inggris kali ini menarik untuk dibela. Pertama, membela tim underdog selalu membuat menonton pertandingan jadi lebih bergairah. Kedua, kostumnya seperti Indonesia, merah-putih. Membela tim sepak bola tidak perlu alasan canggih,toh?!
Manusia memang suka dongeng ala Cinderela. “Everyone loves comeback story,” kata penyanyi Inggris, James Arthur. Setelah kegagalan demi kegagalannya, kisah Inggris keluar sebagai juara di Piala Dunia 2018, bakal terasa epik.
Jika tahun ini Inggris juara, saya penasaran dengan headline apa yang akan dipasang media di sana untuk merayakannya. Tetapi, biarlah nanti media-media Inggris yang bombastis itu menulis headline yang paling sombong sekali pun. Menang mah, bebas.
Kalau menengok reaksi koran-koran di Jerman setelah juara Piala Dunia 2014, kita akan menjumpai pekik kemenangan, ‘Wir Sind Weiltmeister’ (Kami Adalah Juara Dunia) , itu teriakan Neue Westfaliche. Bild juga berteriak, Weiltmeister!
Saya berimajinasi, judul headline media Inggris yang paling cakep jika mereka juara adalah kalimat yang mewakili suasana kerinduan. Bunyinya lembut, tetapi menegaskan posisi agung Inggris di jagat sepak bola.
Bukan seperti seorang ksatria yang berujar dari atas bukit “Kami juaraaa!” Tetapi seorang ibu yang membuka tangannya siap memeluk anaknya yang pulang, setelah sekian lama berpisah.
Kalimat ini ta rasa cocok jadi headline. “Football’s Coming Home.”
Tak ingin ketinggalan update berita bola dan olahraga? Follow instagram kami @medcom_olahraga
Video:?Salam dari Rusia, Jalan-jalan di Gorky Park
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(ACF)