Tiki-taka atau sebagian orang menyebutnya possession hunger yang populer bersama Barcelona dan Spanyol memang mendominasi dalam beberapa tahun belakangan. Ide utamanya sebetulnya sangat sederhana: kuasai bola di daerah lawan selama mungkin dengan pergerakan konstan, maka lawan tidak bisa mencetak gol.
Barcelona dan Spanyol pun berjaya selama bertahun-tahun dengan taktik tersebut. Namun, gaya permainan seperti itu cenderung membosankan karena jual beli serangan antar dua tim terbilang minim, berbeda dengan kick n' rush yang membuat mata penonton sukar beristirahat barang sejenak.
Menariknya, era tiki-taka bisa jadi telah lewat. Piala Dunia 2018 ternyata memiliki ceritanya sendiri, sama seperti ketika Leicester City meraih gelar Liga Inggris, ball possession bukan raja.
Negara-negara yang Doyan 'Menggoreng Bola' di Piala Dunia 2018
Tiga tim memiliki rata-rata di atas 65 persen penguasaan bola selama babak grup: Spanyol 72,8 persen, Jerman 72 persen, dan Argentina 67,8. Apa yang terjadi? Ketiganya kepayahan menghadapi lawan.
Spanyol misalnya, memang berhasil menyudahi fase grup sebagai pemuncak klasemen. Tapi itu semua diraih dengan tidak mudah. Imbang melawan Portugal, lalu kesusahan meladeni perlawanan alot Maroko dan Iran, dua tim yang di atas kertas seharusnya bisa dimenangi dengan mudah.

Jerman? Nasibnya paling parah. Kekalahan dari Meksiko dan Korea Selatan memaksa mereka bukan cuma gagal lolos babak 16 besar, tapi juga finis di dasar klasemen grup.
Argentina lebih beruntung. Gol Marcos Rojo di lima menit terakhir ke gawang Nigeria membawa Tim Tango lolos sebagai runner up grup. Dominasi penguasaan bola mereka padahal mencapai 67,8 persen.
Apa yang salah dari ketiga tim itu jawabannya adalah tidak ada. Tiki-taka belakangan jadi begitu mudah ditebak. Alih-alih membuat lawan kelelahan mengejar bola atau karena melakukan man-marking, baik Jerman, Spanyol, dan Argentina malah melakukan operan-operan percuma dan tidak penting.
Negara-negara yang Doyan 'Menghibur Penonton' di Piala Dunia 2018
Kredit justru harus diberikan kepada lawan-lawan mereka. Ambil contoh Maroko ketika menghadapi Spanyol, atau Islandia dengan 22 persen penguasaan bola kontra Argentina. Keduanya sanggup menahan imbang karena lebih efektif ketika menyerang.
Kesamaan Maroko, Islandia, atau Korea Selatan misalnya yang mengalahkan Jerman 2-0 yakni, permainan mereka menghibur, direct, dan lebih menjanjikan peluang dan ketegangan buat penonton.
Statistik memperlihatkan, direct football lebih menjanjikan hasil positif ketimbang tiki-taka di Piala Dunia 2018. Selama fase grup, ada 48 pertandingan, di mana 14 tim sanggup mencatat ball possessionmencapai di atas 65 persen. Faktanya, hanya lima dari 14 tim itu yang bisa memenangi pertandingan atau hanya sepertiganya saja.
.jpg)
Singkatnya, tim yang mampu menguasai bola di atas 65 persen justru memiliki persentase kemenangan hanya 35,7 persen saja, sisanya, 64,3 persen berakhir imbang atau malah kalah.
Tiki-taka, possession-hunger, atau apa pun sebutannya, sebetulnya tidaklah salah. Akan tetapi, tim-tim jaman now sudah tahu apa yang harus dilakukan mengahadapi 11 pemain berkualitas di atas lapangan.
Mereka telah memahami bagaimana seharusnya skema drop defensive lines dan narrow width yang menjadi kunci dari keberhasilan menghadapi tim dengan strategi penguasaan bola tinggi. Kebiasaan man-marking diubah menjadi zonal-marking.
Satu yang pasti, di Rusia belum ada satu peserta pun yang komplet, yang bisa bermain dominan tapi sekaligus menghibur. Tidak ada istilah 'pantas menang' atau 'layak kalah'. Yang menang adalah yang menang, bukan yang layak menang.
Video: Ada Patung Mirip Ronaldo di Saransk
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(KAU)